Sabtu, 18 Desember 2010

Melepaskan Keakuan Dunia Menjadi Luas

Rabu, 15 Juli 2009 
MELEPASKAN KEAKUAN, DUNIA MENJADI LUAS 


(INTERNET)
(INTERNET)
(Epochtimes.co.id)
Seorang bijak pernah berkata kepada saya: “jika kita bisa melepaskan keakuan dalam segala hal, mempertimbangkan orang lain dengan berdiri pada sudut pandangnya, inilah yang disebut welas asih.”
Namun masyarakat sekarang karena kemerosotan moral, keburukan etika, menjadikan semua orang lebih mementingkan untuk melindungi dirinya sendiri, orang yang benar - benar bisa berdiri di atas sudut pandang orang lain untuk memikirkan orang lain kelihatannya semakin lama semakin sedikit, saya sendiri juga mulai berangsur - angsur melepaskan keakuan saya ini setelah menjadi seorang kultivator (Xiulian).
Ketika seseorang berebut demi keuntungan diri sendiri atau keinginan pribadi, selalu akan menimbulkan pertentangan yang terus berkelanjutan tanpa batas. Sebenarnya, “kedamaian mendatangkan keberuntungan, keramahan mendatangkan harta”, dan lain - lain yang merupakan kebijaksanaan dari para leluhur kita sangatlah masuk akal, bisa melepaskan (merelakan) baru bisa mendapatkan, ada pengorbanan baru ada perolehan.
Ketika seseorang melepaskan keakuannya, dia baru bisa benar - benar merasakan suatu tingkatan kesadaran “sudah sampai di ujung gunung dan sungai sudah tidak ada jalan lagi, setelah melewati bayang - bayang pohon willow akan ada kecerahan bunga dan desa lain”.
Menurut legenda, dahulu kalau ada seseorang yang tersesat di gurun pasir, rasa lapar dan haus yang dialaminya tak tertahankan, sudah mendekati ajalnya.
Dia masih saja teguh menyeret langkah yang sangat berat, berjalan setapak demi setapak ke arah depan, akhrinya di tengah gurun dia mendapatkan sebuah rumah yang telah lama ditinggalkan.
Di depan rumah dia menemukan sebuah alat penyedot air, tetapi setetes air pun tidak ada. Ketika dia merasa tidak mampu berbuat apa - apa lagi, mendadak dia melihat di sampingnya terdapat sebuah ceret, mulut ceret disumbat dengan kayu, di atas ceret terdapat secarik kertas yang bertuliskan: “anda harus menuangkan air di dalam ceret ini ke dalam alat penyedot air, setelah itu baru dapat memompa air.
Akan tetapi di saat kamu akan meninggalkan tempat ini ceret ini harus terlebih dahulu diisi penuh kembali.” Setelah dia membacanya dengan hati - hati dibukanya tutup ceret itu, ternyata ceret itu penuh dengan air.
Pada saat itu orang tersebut mengalami pilihan yang sangat sulit: jika dia menuruti petunjuk dalam kertas itu menuangkan air dalam ceret ke dalam alat penyedot air, lalu alat penyedot air ternyata tidak dapat mengisap air, maka kemungkinan besar dia akan mati kehausan di padang pasir ini; jika air dalam ceret diminumnya segera, nyawanya bisa terselamatkan, tetapi setelah perbuatan ini dilakukan maka orang yang datang di kemudian hari sama sekali tidak ada harapan lagi.
Dia ragu - ragu sejenak, suatu kekuatan seperti inspirasi yang menakjubkan memberinya kekuatan, dia memutuskan untuk melakukan sesuai dengan kata - kata yang tertulis di kertas itu, ternyata pompa air itu benar - benar mengeluarkan air yang jernih. Lalu dia minum sepuas - puasnya!
Setelah beristirahat sejenak lalu ceret itu kembali diisi air sampai penuh dan ditutup dengan penutupnya, di atas kertas itu ia menambahkan beberapa kata: “percayalah padaku, tulisan pada kertas ini benar adanya, hanya dengan meletakkan masalah hidup dan mati, anda baru bisa menikmati air jernih yang manis.”
Melepas keakuan berkorban untuk orang lain adalah suatu tindakan kebajikan, juga merupakan suatu tingkat pikiran yang agung. Ketika seseorang benar - benar melepaskan keakuan, kebijaksanaan untuk membedakan yang kebenaran atau kepalsuan akan muncul dengan sendirinya, dia pasti akan mendapatkan hasil dan kegembiraan di luar dugaan.
Masalah dunia ini, biar pun tidak bisa setiap kali pengorbanan akan segera mendatangkan imbalan, akan tetapi hanya dengan mengorbankan baru memungkinkan mendapatkan imbalan, baru bisa menikmati manisnya air yang jernih.
Maka setiap kali saya melihat praktisi Falun Gong di seluruh dunia tidak mempedulikan teriknya panas matahari, atau di saat tanah diselimuti salju yang sangat dingin, mengorbankan uang dan waktu berkumpul dengan keluarganya untuk melakukan klarifikasi fakta, mengungkap kebenaran, selalu membuat saya menghela nafas panjang.
Melepaskan keakuan, meletakkan hidup dan mati, berkorban demi orang lain tanpa pamrih, adalah taraf pikiran seorang Maha Sadar. (Guang Ming/The Epoch Times/Lin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar