Kamis, 30 Desember 2010

Keheningan

Dua orang artis tengah berusaha membuat lukisan yang akan mengekspresikan keheningan.

Artis pertama menggambarkan sebuah danau. Permukaan air danau tenang dan serata cermin. Di latar belakang ada pegunungan tinggi, dan di barisan depannya digambarkan bunga-bunga indah yang tumbuh di sekitar danau. Pemandangan ini tercermin pada air danau yang hening sempurna.

Artis yang lain menggambarkan sebuah air terjun. Air yang bergejolak, mengalir deras dan jatuh melalui tebing tinggi yang sempit ke dalam jurang. Sebatang pohon kecil tegak di dekatnya, di puncak pohon ada sebuah sarang burung yang di dalamnya seekor anak burung berbaring tidur.

Siapakah dari kedua artis ini yang telah mengekspresikan makna dari keheningan dengan lebih meyakinkan?

Artis pertama mengilustrasikan keheningan dengan melukiskan suatu lingkungan yang tenang. Ini adalah bentuk keheningan yang pasif, yang tidak hidup. Sedangkan artis kedua mengekspresikan keheningan internal, ketenangan yang sebenarnya yang merefleksikan kekuatan aktif dari dalam jiwa.

Pada umumnya orang menganggap ketentraman dalam hidupnya adalah tergantung kepada lingkungan. Kita berpikir bahwa ketenangan akan diperoleh bila berhasil menempatkan diri pada situasi yang tenang. Namun ternyata yang sebaliknya yang benar. Adalah suasana hati dan jiwa kitalah yang menentukan sejauh mana ketenangan keadaan di sekitar kita.

Dalam sebuah buku berjudul Kebijaksanaan Akar Tumbuhan tertulis:

Orang yang di dalam hatinya penuh dengan hasrat dan angan-angan dapat saja berdiri disamping kolam yang dalam dan tenang namun tetap merasakan hatinya dipenuhi nafsu keinginan.
Dia bisa saja hidup di dalam hutan yang sepi dan tetap tidak mampu merasakan keheningan.
Sementara mereka yang telah melepaskan semua hasrat keinginan dari hatinya akan tetap merasa segar di bawah sengatan panas matahari.
Mereka dapat hidup di tengah kota yang berisik namun tidak terganggu hiruk-pikuk kesibukannya.

Sehingga dikatakan bahwa:

Hati yang tenang membuat gubuk reot menjadi stabil,
Hati yang terpusat membuat akar tanaman pun terasa lezat.

Sebagai jiwa yang tidak mampu terlepas dari penderitaan dalam berbagai reinkarnasi, telah membentuk dan terkumpul banyak benih karma yang mengacaukan inti kebenaran di dalam diri kita. Apabila situasi tertentu muncul di dalam hidup kita, benih karma akan terbangkit dan mulai berkecambah. Mereka akan tumbuh, misalnya dalam bentuk kemarahan, rasa iri atau keserakahan. Kekuatan emosi ini menjauhkan jiwa kita dari sifat aslinya dan keadaannya yang tenang, dan kita mulai bertindak mengikuti emosi dan nafsu keinginan. Hati kita melekat pada kondisi-kondisi yang tidak abadi dan malah mempercayainya sebagai yang benar. Konsekuensinya, yang tersisa adalah jiwa yang menderita, diliputi kegelisahan dan terperdaya, yang jarang dapat menjadi tenang.

Sering terjadi dalam keadaan yang tenang dimana tidak banyak hal yang terjadi, kita justru mudah menjadi gelisah dan terhanyut mengikuti hasrat keinginan yang muncul dari dalam diri kita. Sebaliknya, apabila mempunyai jadwal yang padat di tangan dan terfokus untuk menyelesaikan suatu program aktivitas, maka hanya ada sedikit kesempatan untuk berangan-angan dan timbulnya hasrat. Jadi, ketenangan lingkungan kita tidak langsung berarti menghasilkan ketenangan di dalam diri kita. Kenyataan menunjukkan banyak tindakan kriminal justru direncanakan dalam keadaan yang tenang dan hening saat kekuatan emosi negatif terkumpul hingga mencapai tingkat yang tidak dapat dikendalikan lagi. Jadi, jika kita tidak mampu meredakan gejolak di dalam diri, hingga kesadaran terlepas kendali dan keadaan lingkungan yang tenang menjadi tempat bertunasnya tindakan yang berbahaya.

Namun, ini bukanlah berarti kita harus mempertahankan gaya hidup yang berantakan dan sembrono. Yang dimaksud adalah lingkungan yang tenang, tidak menjamin kedamaian internal. Ketenangan yang sebenarnya tidaklah berasal dari lingkungan.

Dalam Kebijaksanaan Akar Tumbuhan kita membaca:

Untuk mempertahankan hati yang tenang pada tempat yang sepi bukanlah ketenangan yang sebenarnya.
Tetapi jika mampu mempertahankan hati yang tenang dalam lingkungan yang gaduh berarti telah mencapai kedamaian internal yang sebenarnya.
Untuk berbahagia di dalam situasi yang penuh kegembiraan bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya.
Tetapi jika dapat terus berbahagia dan tak terbeban di tengah penderitaan dan masa-masa sulit adalah manifestasi dari kemampuan untuk melindungi hati sendiri.

Ada pepatah mengatakan:

Berkontemplasi dalam ketenangan internal
akan menghasilkan kesadaran.

Bagaimana caranya untuk berkontemplasi dalam ketenangan?
Guru agung Huo Fo Se Cun mengatakan:

Ketidak-melekatan adalah ketenangan.
Tidak marah dan bebas dari kekhawatiran adalah ketenangan.
Mengesampingkan benar dan salah, ketenaran dan perbuatan yang tidak terpuji adalah ketenangan.
Tidak ada keserakahan dan pikiran bodoh adalah ketenangan.

Apabila dapat mencapai semua ini, maka akan dapat berkontemplasi dengan jernih. Akan mengalami kemajuan dalam pembinaan dirinya. Ketenangan tidak datang dari lingkungan. Ia harus muncul dari dalam hati kita.

Sayangnya, jiwa yang menderita dan berada di dalam pengaruh dari benih karma, tidak mampu mempertahankan hati yang tenang. Pikiran yang muncul pun sering berbeda dari jalan yang seharusnya. Hatipun tidak cukup tenang untuk melakukan renungan. Ketenangan internal tidak datang dengan mudah. Adalah tidak cukup dengan sekedar menginginkan dan mengharapkannya. Kita tidak dapat melihat menembusi semua angan-angan walaupun menginginkannya. Kita membutuhkan bantuan khusus untuk mencapai tingkatan tanpa mementingkan ego diri dan persepsi yang jelas tentang kebenaran.

Melalui karunia Yang Maha Kuasa, jalan Ketuhanan disebarkan di dunia. Se Cun dan Se Mu telah menetapkan suatu cara pembinaan diri yang dikenal sebagai San Se Wu Fa (Tiga Dana dan Lima Cara).

Ketiga dana adalah:

Kontribusi dengan memberi (memberi uang ataupun pemilikan materi kepada orang lain untuk membantu mereka di dalam pembinaan diri.)
Kontribusi dengan mengajar (secara formil maupun tidak formil menyampaikan kepada orang lain tentang Jalan Ketuhanan demi untuk membantu mereka mendapatkan kesadarannya.)
Kontribusi dengan semangat keberanian (kontribusi tanpa pamrih, berkorban untuk membantu karya Ketuhanan.)
Kelima cara untuk pembinaan diri adalah:

Saling berbagi dan saling menyampaikan Jalan Ketuhanan dengan orang lain.
Membantu menyiapkan seseorang untuk menjadi pewarta Ketuhanan.
Mendirikan wadah (pusat) Ketuhanan.
Memulai karya Ketuhanan di tempat yang baru.
Mencurahkan hidup untuk pelaksanaan karya Ketuhanan.
Tiga Dana dan Lima Cara adalah kondisi positif yang membantu pertumbuhan sifat alami kita menuju penerangan. Sambil tiada henti membuat kontribusi, esensi dari sifat Budha, berupa pengorbanan, pemaaf dan ketenangan akan mulai muncul. Dengan mempraktekkan semangat ini dalam kehidupan sehari-hari maupun saat menjalankan Ketuhanan, kita akan semakin memahami maksud Yang Maha Kuasa dan bertindak sesuai dengan kehendaknya. Dengan cara ini kita mengikuti derap langkah para pendahulu dan dengan tetap bertahan pada jalan ini barulah dapat melaksanakan jalan ketuhanan tanpa bias. Secara bertahap seluruh hasrat keinginan dan angan-angan yang tidak benar akan sirna dengan sendirinya, sehingga akhirnya kita telah benar-benar terbebas dari mereka.

Mempraktekkan Tiga Dana dan Lima Cara dengan penuh dedikasi sebagai sikap hidup sehari-hari merupakan cara yang terbaik untuk membersihkan diri dari hasrat keinginan dan angan-angan, untuk mencapai kedamaian internal walau tetap dikelilingi berbagai kegiatan. Ini juga merupakan cara yang terbaik untuk mendirikan kebajikan, mengumpulkan jasa pahala.












Category: 100 Anekdot dan Perumpamaan
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply
Name (required)

E-Mail (will not be published , required)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar