Minggu, 12 Desember 2010

Kesadaran agung


Cinta, Kedamaian, Pencerahan

Dalam banyak hal, Barat menyimpan tanda-tanda ke mana peradaban  bergerak. Industrialisasi,  demokrasi,  kapitalisme, feminisme hanyalah sebagian hal yang awalnya terjadi di Barat, kemudian menerjang ke seluruh dunia. 
Kepunahan agama
Siapa saja yang rajin ke Barat di abad 21 ini, boleh bertanya ‘what is your religion?’. Dan siap-siaplah dijawab: stupid question. Seorang pengajar di perguruan tinggi di Melbourne, pernah bertanya ke mahasiswanya di sebuah kelas: any one of you who have religion? Dan yang menaikkan tangan hanya segelintir. Itu pun semuanya berwajah Asia.
Dari salah satu segi terlihat, agama di Barat lebih dipandang sebagai beban dibandingkan identitas yang membahagiakan. Dan pada saat yang sama, ada kecenderungan lain yang layak direnungkan.
Karen Amstrong (penulis buku Hystory of God) menulis, inilah zaman keemasan Buddha di Barat. Albert Einstein (fisikawan besar abad 20) berpendapat,  agama yang bisa memenuhi kebutuhan intelek  manusia masa depan adalah agama Buddha. Lama Surya Das (penulis Awakening to the Sacred) menjumpai sejumlah anak muda di Barat yang mengaku: ‘my parent hate me when they know that I am a Buddhist, but they love me when they know that I am a Buddha’. 0rang tua kesal melihat puterinya masuk Vihara. Namun mereka cinta ketika menyadari anaknya sabar, santun, penuh rasa hormat dan rendah hati.
Digabung menjadi satu, ada sebuah pintu kecenderungan yang terbuka. Di satu sisi ada rasa dahaga manusia akan kedamaian. Terutama karena materialisme di Barat sudah menunjukkan batas-batasnya. Dan di lain sisi, agama Buddha menyentuh komunitas Barat dengan kedamaian.
Membaca tanda-tanda seperti ini, tantangan agama-agama sebenarnya bukan persaingan antaragama.  Raja Asoka (murid serius Buddha) mewariskan: ’siapa yang menghina agama orang, ia sedang mencaci agamanya sendiri. Siapa yang menghormati agama orang, ia sedang mencintai  agamanya sendiri’. Tantangan agama-agama ke depan adalah memuaskan rasa dahaga manusia akan kedamaian.
Tanpa kemampuan memuaskan rasa dahaga akan kedamaian, lebih-lebih memperpanjang daftar kekerasan yang sudah panjang, maka bukan tidak mungkin ada agama yang mengalami kepunahan di masa depan.
Bahasa-bahasa cinta
Kalau boleh jujur, semua agama berbahasakan cinta. Islam menempatkan cinta di urutan nomer satu dalam 99 nama Allah. Nasrani mengalami dinamika dari perjanjian lama ke perjanjian baru, namun dalam kasih ia tidak bergeser sama sekali. Yoga Hindu tidak bisa sempurna tanpa bhakti yoga (path of love and devotion). Rumah batin luhurnya  Buddha mulai dengan cinta kasih.
Dalam ketokohan juga serupa. Islam bersinar di tangan manusia seperti Jalaludin Rumi, Imam Al-Ghazalli yang tidak punya bahasa lain selain cinta. Ajaran Kristus menyentuh  di tangan orang seperti Santo Franciscus dari Asisi yang digerakkan kasih. Di tangan Mahatma Gandhi, Bhagawad Gita hidup. Tidak ada kekuatan lain  yang membantu Gandhi  terkecuali  bhakti.  Tatkala Dalai Lama ditanya pengertian Tuhan, ia menjawab: God is an infinite compassion. Teduh, menyentuh, itulah wajah asli agama-agama.
Namun, kerap ini dihadang keingintahuan yang membandingkan wacana dengan realita. Bila memang demikian, kenapa ada serangan teroris,  pemerintah AS dan kawan-kawan menyerang  Afghanistan dan Irak,  rezim militer Myanmar demikian kejam menembaki sejumlah Bhiksu, masyarakat Bali yang tekun berupacara melakukan sejumlah kekerasan?
 
Latihan sebagai langkah
Meminjam cerita Zen, setiap kata hanyalah jari yang menunjuk bulan. Bahkan kata-kata Buddha digabung dengan Krishna pun tidak bisa menghantar manusia menemukan  pencerahan, terutama bila hanya sebatas dimengerti kemudian lupa. Apa yang kita tahu adalah sebuah tebing. Apa yang kita laksanakan dalam keseharian adalah tebing lain. Dan jembatan yang menghubungkan keduanya bernama latihan.
Sulit membayangkan ada pencerahan tanpa ketekunan latihan. Raksasa spiritual dari Jalaludin Rumi, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi sampai dengan Dalai Lama, semuanya dibesarkan latihan. Siapa yang berani membayar  latihannya dengan ongkos  lebih mahal, ia  sampai di tempat yang lebih jauh.
Sayangnya, ini yang tidak mau dilakukan banyak orang. Hanya berbekalkan intelek, kemudian berharap pencerahan. Ia serupa dengan hanya melihat ujung jari, mau sampai di bulan.
Thich Nhat Hanh dalam Creating true peace lebih konkrit soal latihan. Di dalam diri kita ada bibit kedamaian sekaligus bibit kemarahan. Perjalanan latihan bergerak semakin sempurna, ketika manusia dalam keseharian menyirami bibit kedamaian, berhenti menyirami bibit kemarahan. Cara terbaik melakukan  ini adalah dengan mempraktekkan kesadaran (mindfulness).
Dalam aktivitas apa pun (bangun, makan, bekerja sampai tidur lagi) lakukanlah dengan penuh kesadaran. Bila kemarahan yang datang, senyumlah sambil ingat untuk tidak mengikuti kehendak kemarahan. Tatkala kedamaian yang berkunjung senyumlah sambil sadar kalau kedamaian pasti pergi. Sehingga ketika kedamaian pergi, tidak perlu kecewa. 
Bila digoda orang  menjengkelkan, berfokuslah pada api amarah yang ada di dalam. Lihat, senyum, jangan diikuti. Bila ini tidak membantu, ganti judul orang menjengkelkan dengan orang yang membutuhkan uluran cinta  kita. Sebab bila judulnya menjengkelkan, respon alaminya marah. Jika judulnya ia memerlukan cinta kita, maka respon alaminya membantu.
Teruslah berlatih sampai tidak ada lagi yang tersisa (kemarahan menghilang, kedamaian menghilang), terkecuali kesadaran agung. Kadang disebut kesempurnaan agung karena semua sempurna apa adanya. Dan yang terlihat oleh orang lain di luar adalah keseharian yang diam, senyum serta tangan yang bahagia bila ada kesempatan membantu.
Dibimbing cinta manusia bertemu  keteduhan, kesejukan kedamaian. Kedamaian kemudian membukakan pintu pencerahan. Ada yang bertanya, apa itu pencerahan? Seperti berlatih naik sepeda. Teorinya sederhana. Namun begitu berlatih dijamin jatuh. Ada yang masuk selokan. Ada juga kakinya berdarah. Hanya dengan ketekunan latihan  seseorang bisa menemukan keseimbangan (baca: kesadaran agung). Dan momen ketika kesadaran agung dialami, ia akan berujar: oooo!
Itulah pencerahan. Ia di luar  kata-kata. Bila ada yang mau menjelaskannya dengan kata-kata, nasibnya akan serupa dengan sepasang tangan manusia yang mau mengambil seluruh air samudera.

1 komentar: