Minggu, 19 Desember 2010

Gede Prama " Nur Dari Timur "


Ia yang pernah  hidup di Barat tahu kalau berbicara itu amat penting. Dibandingkan kehidupan di Timur, lebih banyak hal di Barat yang  diekspresikan dengan kata-kata. Fight, argue, complain, itulah ciri-ciri manusia yang disebut ‘hidup’ di Barat. Tanpa perlawanan, tanpa adu argumentasi, orang dianggap ‘tidak hidup’ di Barat. Intinya, melawan itu kuat, diam itu lemah, melawan itu cerdas, pasrah itu tolol.
Dengan latar belakang berbeda, pola hidup ala Barat ini kemudian menyebar cepat melalui televisi, internet, radio, media cetak dll. Dengan bungkus seksi demokrasi, hak-hak azasi manusia, semua ini dibawa ke Timur. Sehingga dalam banyak keadaan (Jepang angka bunuh dirinya terus naik, Thailand mengalami guncangan-guncangan politik, Pakistan ditandai oleh sejumlah pembunuhan politik), banyak manusia di Timur mengalami kebingungan roh Timur dengan baju Barat.
Perhatikan kehidupan  desa sebagai barometer, setiap pagi burung-burung bernyanyi. Tanpa banyak berdebat siapa yang akan menjadi presiden, ke mana arah masa depan,  partai apa yang akan menang, dengan seluruh kesederhanaannya burung-burung bernyanyi. Sekarang bandingkan dengan kehidupan manusia yang dikatakan memiliki kelebihan (akal, budi, rasa). Dulu, banyak manusia yang bernyanyi di kamar mandi. Sekarang, disamping semakin sedikit yang bernyanyi, waktu yang dulu diisi dengan nyanyian diganti dengan keluhan. Di desa yang banyak burungnya, namun manusianya banyak menonton televisi (sebagai catatan, realita di desa amat sederhana,  tontonan di televisi amat menggoda), tema hidup setiap pagi adalah “burung menyanyi, manusia mencaci”.
Berhenti melawan kemudian mengapung
Bayangkan seseorang yang tidak bisa berenang kemudian tercemplung ke sungai yang dalam. Pertama-tama ia melawan. Setelah itu tubuhnya tenggelam. Karena tidak bisa bernafas, meninggallah ia kemudian. Anehnya, setelah meninggal tubuhnya mengapung di permukaan air. Dan alasan utama kenapa tubuh manusia meninggal kemudian mengapung karena ia berhenti melawan.
Ini memberi inspirasi, sebab utama kenapa kehidupan banyak manusia tenggelam (baca: stres, depresi, banyak penyakit, konflik, perang) karena terus menerus melawan. Yang jadi guru mau jadi kepala sekolah. 0rang biasa mau jadi presiden. Pegawai buru-buru mau kaya seperti pengusaha. Intinya satu, menolak kehidupan hari ini agar diganti dengan kehidupan yang lebih ideal kemudian.
Tidak ada yang melarang seseorang jadi presiden maupun pengusaha kaya, cuman sebagaimana diajarkan alam, semua ada sifat-sifat alaminya. Seperti burung sifat alaminya terbang, serigala berlari, ikan berenang.
Suatu hari konon binatang iri sama manusia karena memiliki sekolah. Tidak mau kalah, kemudian didirikan sekolah berenang dengan gurunya ikan, sekolah terbang gurunya burung, sekolah berlari gurunya serigala. Dan setelah mencoba bertahun-tahun semua binatang kelelahan. Di puncak kelelahannya, baru sadar kalau semuanya memiliki sifat alami masing-masing. Dalam bahasa tetua di Jawa, puncak pencaharian ketemu tatkala seseorang mulai tahu diri.
Meditasi tanpa perlawanan
Nyaris semua manusia, begitu berhadapan dengan permasalahan, penderitaan langsung bereaksi mau menyingkirkannya. Bosan kemudian cari makan. Jenuh kemudian cari hiburan. Sakit kemudian buru-buru mau melenyapkan penyakit dengan obat. Inilah bentuk konkrit dari hidup yang melawan. Sehingga berlaku rumus sejumlah psikolog what you resist persist. Apa saja yang dilawan akan bertahan. Ini yang menerangkan kenapa sejumlah kehidupan tidak pernah keluar dari terowongan kegelapan karena terus melawan.
Berbeda dengan hidup kebanyakan orang yang penuh perlawanan, di jalan-jalan meditasi manusia diajari untuk tidak melawan.  Mengenali tanpa mengadili. Melihat tanpa mengkotak-kotakkan. Mendengar tanpa melakukan penghakiman. Bosan, sakit, sehat, senang, sedih semuanya dicoba dikenali tanpa diadili. Ia yang rajin berlatih mengenali tanpa mengadili, suatu hari akan mengerti.
Dalam bahasa Inggris, mengerti berarti understanding, bila dibalik menjadi standing under. Seperti kaki meja, kendati berat menahan, ia akan berdiri tegak menahan meja. Demikian juga dengan meditator. Permasalahan tidak buru-buru dienyahkan, penderitaan tidak terlalu cepat disebut sebagai hukuman, tetapi dengan tekun  ditahan, dikenali, dipelajari. Setelah itu terbuka rahasianya, ternyata keakuan adalah akar semua penderitaan. Semakin besar keakuan semakin besar penderitaan, semakin kecil keakuan semakin kecil persoalan. Keakuan inilah yang suka melawan.
Indahnya, sebagaimana dialami banyak meditation master, ketika permasalahan, penderitaan sering dimengerti dalam-dalam sampai ke akar-akarnya, diterangi dengan cahaya kesadaran melalui praktek meditasi, ia kemudian lenyap. Ini mungkin sebabnya kenapa Charlotte Joko Beck dalam Nothing Special menulis: “Sitting is not about being blissful or happy. It’s about finally seeing that there is no real difference between listening to a dove and listening to sombody criticizing us“.  Inilah berkah spiritual meditasi. Tidak ada beda antara mendengar merpati bernyanyi dengan mendengar orang mencaci. Keduanya hanya didengar. Yang bagus tidak menimbulkan kesombongan. Yang jelek tidak menjadi bahan kemarahan. Pujian berhenti menjadi hulunya kecongkakan. Makian berhenti menjadi ibunya permusuhan.
Tatkala melihat  hanya melihat. Ketika mendengar  hanya mendengar. Perasaan suka-tidak suka berhenti mensabotase kejernihan dan kedamaian. Meminjam lirik lagu Bob Marley dalam Three little birds: don’t worry about the things, every single thing would be alright. Tidak usah khawatir, semuanya sudah, sedang, dan akan berjalan baik-baik saja. Burung tidak sekolah, tidak mengenal istilah kecerdasan namun terhidupi rapi oleh alam, apa lagi manusia. Inilah meditasi tanpa perlawanan. Paham melalui praktek (bukan dengan intelek) kalau keakuan akar kesengsaraan. Begitu kegelapan keakuan diterangi kesadaran, ia lenyap. Tidak ada yang perlu dilawan.
Seorang guru yang telah sampai di sini berbisik: the opposite of injustice is not justice, but compassion.  Selama ketidakadilan bertempur dengan keadilan, selama itu juga kehidupan mengalami keruntuhan. Hanya saling mengasihi yang bisa mengakhiri keruntuhan. Sejumlah sahabat di Barat yang sudah membadankan kesempurnaan meditasi seperti ini, kerap menyebut ini dengan Nur dari Timur. Cahaya penerang dari Timur di tengah pekatnya kegelapan kemarahan, kebencian, ketidakpuasan, kebodohan. Seperti listrik  bercahaya karena memadukan positif-negatif, meditasi hanyalah perpaduan kesadaran-kelembutan yang membuat batin bisa menerangi dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar