Senin, 31 Januari 2011

Seni Hidup : Meditasi Vipassana

Seni Hidup : Meditasi Vipassana


Setiap orang mencari damai dan harmonis, karena inilah yang kurang dalam kehidupan kita. Dari saat ke saat kita mengalami kegelisahan, kejengkelan, ketidak harmonisan, penderitaan. Saat seorang gelisah, ia juga menyebarkan penderitaan tersebut kepada orang lain - kegelisahan merembes keluar dari orang yang menderita ke sekelilingnya. Sehingga setiap orang yang berhubungan dengannya ikut menjadi jengkel dan gelisah. Tentu ini bukan cara hidup yang baik.
Seorang harus hidup damai dgn dirinya sendiri dan juga dengan yang lain .Bagaimanapun manusia adalah makluk sosial, ia hrs hidup dan berhubungan dengan masyarakat. Bagaimana kita bisa hidup damai, bisa tetap harmonis dengan diri sendiri dan juga masyarakat sekitarnya, sehingga yang lain bisa hidup damai dan harmonis ?

Seseorang sedang gelisah. Untuk keluar dari kegelisahan, seorang harus mengetahui alasan dasarnya, sebab dari penderitaan. Bila ia menyelidiki masalah tersebut, akan jelas bahwa saat ia mulai membangkitkan kekotoran dalam batin, ia pasti menjadi gelisah. Suatu negatifitas dalam batin dan batin yang tidak murni, tidak bisa hadir bersamaan dengan kedamaian dan keharmonisan.
Bagaimana seorang membangkitkan kekotoran batin? Sekali lagi dengan menyelidiki. Menjadi jelas, saya menjadi tidak senang saat melihat seorang berkelakuan dengan cara yang tidak saya sukai, atau sesuatu terjadi tidak seperti apa yang saya inginkan, atau sesuatu yang saya harapkan tidak terjadi. Dan saya membuat ketegangan dalam diri saya. Sepanjang hidup, hal yang tidak diharapkan selalu terjadi, hal yang diharapkan bisa terjadi bisa tidak. Setiap reaksi yang dibangkitkan terhadap kejadian-kejadian tersebut membuat simpul-simpul baru - simpul-simpul Gordian - dalam batin yang membuat seluruh struktur mental dan jasmani menjadi tegang, penuh negatifitas, yang membuat hidup menderita.

Satu cara untuk menyelesaikan masalah adalah mengatur agar hal yang tidak diharapkan tidak terjadi dan semuanya terjadi seperti apa yang saya inginkan. Maka saya harus mengembangkan kesaktian atau orang lain yang mempunyai kesaktian atas permintaan bisa datang membantu saya agar sesuatu yang tak kuingini tidak terjadi, dan agar semua yang kuingini dapat terjadi. Tapi ini tidak mungkin. Tidak ada seorang -pun di dunia ini yang keinginannya bisa selalu terpenuhi, bahwa sepanjang hidup orang itu, semuanya terjadi sesuai dengan keinginannya, tanpa ada suatupun yang tak diingini terjadi padanya. Terus menerus saja terjadi hal-hal yang berlawanan dengan harapan dan keinginan kita. Jadi timbul pertanyaan bagaimana agar saya tidak bereaksi buta terhadap hal-2 yang tidak saya sukai ? Bagaimana agar saya tidak membuat ketegangan ? Bagaimana menjaga tetap damai dan harmoni ?

Di India, juga negara lain, para bijaksana telah mempelajari masalah ini - masalah penderitaan manusia - dan menemukan solusinya: Bila sesuatu yang tidak diinginkan terjadi dan seorang mulai bereaksi dengan membangkitkan kemarahan, ketakutan atau negatifitas apa saja, secepatnya ia harus mengalihkan perhatiannya ke hal-hal lain. Misalnya, berdiri, mengambil segelas air, mulai minum. Kemarahannya tidak akan berlipatganda dan ia akan keluar dari kemarahan. Atau Ia boleh mulai menghitung: satu, dua, tiga, empat. Atau mengulang-ulang sebuah kata, kalimat atau mantra, mungkin mengulang nama-nama dewa dewi yang dipujanya maka pikiran akan dapat dialihkan dan dalam batas tertentu anda akan dapat keluar dari negatifitas, keluar dari kemarahan.

Solusi ini dapat membantu. Ia berjalan dan akan tetap berjalan. Dengan mempraktekkan ini, batin merasa bebas dari kegelisahan. Tapi sebenarnya solusi ini hanya bekerja pada lapisan sadar. Sesungguhnya dengan mengalihkan perhatian seseorang menekan negatifitas jauh ke dalam alam bawah-sadar dan pada lapisan ini ia terus membangkitkan dan menggandakan kekotoran yang sama. Pada permukaan terdapat lapisan ketenangan dan harmonis, tapi pada kedalaman batin terdapat gunung berapi yang tertidur berisi negatifitas-negatifitas yang tertekan itu yang cepat atau lambat akan meletus dengan hebat.

Sebagian penjelajahi kebenaran batin yang lain melanjutkan pencariannya : Dengan mengalami realita dari batin-materi dalam diri mereka. Mereka mendapatkan bahwa mengalihkan perhatian hanyalah menghindari diri dari masalah. Menghindar bukanlah solusi: orang harus menghadapinya. Saat negatifitas timbul dalam batin, amati saja, hadapi saja. Segera setelah seseorang mulai mengamati kekotoran mentalnya, kekotoran mentalnya mulai kehilangan kekuatannya. Dengan perlahan kekotoran batin akan layu dan tercabut.

Ini solusi yang baik : Ia menghindari baik kebebasan bereaksi atau penekanan yang ekstrim. Menyimpan kekotoran di dalam alam bawah-sadar tidak akan mengikisnya dan membiarkannya menjelma dalam bentuk tindakan fisik atau vokal hanya akan menimbulkan masalah lebih banyak. Tapi bila seorang hanya mengamati, maka kekotoran akan berlalu dan negatifitas tercabut. Ia terbebas dari kekotoran batin.

Ini kedengarannya bagus, tapi apakah ini benar-benar praktis ? Untuk rata-rata manusia biasa, apakah mudah menghadapi kekotoran batin? Saat kemarahan timbul, begitu cepat ia menguasai kita sehingga tidak sempat memperhatikannya. Dikuasai oleh kemarahan, kita akan melakukan tindakan-tindakan tertentu, baik fisik maupun vocal yang merugikan kita dan orang lain. Kemudian saat amarah telah berlalu, kita mulai menyesal, meminta ampun dari orang ini dan itu atau dari Tuhan: "Oh, saya telah membuat kesalahan, mohon ampuni saya !" Tapi saat berikutnya, kita berada dalam situasi yang sama, sekali lagi kita bereaksi dengan cara yang sama. Semua penyesalan-penyesalan itu sama sekali tidak menolong.

Kesulitannya adalah saya tidak menyadari saat kekotoran timbul. Itu dimulai dari jauh di dalam tingkat bawah-sadar pikiran dan saat ia mencapai tingkat pikiran sadar, ia telah mendapatkan kekuatan yang begitu besar yang bisa menguasai saya dan saya tidak dapat mengamatinya.
Jadi saya harus mempunyai seorang sekretaris pribadi sehingga saat kemarahan timbul, dia akan berkata 'Lihat Tuan, kemarahan timbul !'.Karena saya tidak tahu kapan amarah timbul,saya harus punya tiga sekretaris pribadi untuk berjaga bergantian selama 24-jam !. Umpama saya mampu melakukannya, saat amarah timbul dan segera sekretarisku mengatakan: 'Tuan lihat, kemarahan timbul ', hal pertama yang akan saya lakukan adalah menamparnya dan memakinya: 'Bodoh kamu ! Apakah kamu dibayar untuk mengajari aku '? "Saya sudah dikuasai oleh kemarahan, tidak ada nasihat yang baik yang bisa membantu.

Bahkan umpama kebijaksanaan menang dan saya tidak menamparnya, sebaliknya saya berkata :'Terima kasih banyak'. Sekarang saya harus duduk dan mengamati kemarahanku." Namun apakah itu mungkin ? Segera setelah saya pejamkan mata saya dan mencoba mengamati kemarahan, segera objek kemarahan masuk ke pikiran saya - orang atau kejadian yang membuatku marah-. Jadi saya tidak mengamati kemarahan itu sendiri, saya hanya mengamati rangsangan luar dari emosi. Ini hanya akan menggandakan kemarahan. Ini bukan solusi. Adalah sangat sulit untuk mengamati negatifitas serta emosi yang abstrak, terpisah dari objek luar yang menyebabkannya .

Bagaimanapun jua seseorang yang telah mencapai kebenaran ultima telah menemukan solusi yang nyata. Beliau mendapatkan bahwa pada saat suatu kotoran timbul di dalam batin, secara bersamaan dua hal terjadi pada tingkat fisik. Yang pertama adalah nafas kehilangan iramanya yang normal. Kita mulai bernafas cepat saat negatifitas masuk dalam batin. Ini mudah diamati. Pada tingkat yang lebih halus, semacam reaksi biokimia terjadi didalam tubuh - semacam sensasi. Setiap kekotoran akan membangkitkan satu dan lain sensasi pada satu bagian tubuh atau lainnya.

Ini adalah solusi yang praktis. Orang awam tidak bisa mengamati kekotoran batin yang abstrak- katakutan, kemarahan atau emosi yang abstrak. Tapi dengan latihan dan praktek yang tepat, adalah mudah untuk mengamati pernafasan dan sensasi tubuh - keduanya langsung berhubungan dengan kekotoran batin.

Pernafasan dan sensasi tubuh akan membantu saya dalam dua hal. Pertama sebagaimana layaknya sekretaris pribadi. Segera setelah kekotoran timbul dalam batin saya, nafas saya akan berubah tidak normal. Ia akan mulai berteriak 'Lihat ada sesuatu yang salah '. Saya tidak bisa menampar nafasku ; saya harus menerima "peringatan" tersebut. Demikian pula, sensasi-sensasi tubuh memberitahu saya bahwa sesuatu ada yang salah. Kemudian setelah menerima peringatan-peringatan tersebut, saya mulai mengamati nafas saya dan sensasi tubuh saya dan saya segera mendapatkan kekotoran berlalu.

Fenomena materi-batin ini seperti dua sisi dari sebuah mata uang logam. Pada satu sisi adalah apapun pikiran atau emosi yang timbul didalam batin. Sisi lainnya adalah nafas dan sensasi-sensasi dalam tubuh. Setiap pikiran atau emosi, setiap kekotoran mental mewujudkan diri dalam nafas dan sensasi tubuh pada saat itu. Jadi dengan mengamati nafas atau sensasi tubuh, saya sebetulnya sedang mengamati kekotoran batin. Sebaliknya daripada menghindari diri dari masalah, saya menghadapi kenyataan sebagaimana adanya. Kemudian saya mendapatkan bahwa kekotoran kehilangan kekuatannya. Saya tidak lagi bisa dikuasai seperti dulu. Bila saya bertahan, kekotoran akhirnya lenyap seluruhnya dan saya tetap damai dan bahagia.

Dengan cara ini, teknik pengamatan diri memperlihatkan kepada kita kenyataan dalam dua aspek : yaitu di dalam dan di luar. Sebelumnya, orang selalu melihat dengan mata terbuka lebar, melewatkan kebenaran di dalam. Saya selalu melihat keluar untuk mencari sebab dari ketidakbahagiaanku, saya selalu menyalahkan dan mencoba merubah realitas di luar. Karena ketidaktahuan saya akan realita di dalam, saya tidak pernah mengerti bahwa penyebab dari penderitaan berada di dalam, di dalam reaksi buta saya terhadap sensasi-sensasi tubuh yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Sekarang dengan berlatih, saya bisa melihat sisi lain dari mata uang. Saya bisa sadar akan nafas saya dan juga apa yang terjadi di dalam diri saya. Apakah itu nafas atau sensasi tubuh, saya belajar hanya mengamatinya tanpa kehilangan keseimbangan batin. Saya berhenti bereaksi, berhenti memperbanyak penderitaan., sebaliknya saya biarkan kekotoran mewujudkan diri dan berlalu.
Semakin sering seseorang berlatih teknik ini, semakin cepat ia keluar dari negatifitas. Secara berangsur batin akan bersih dari kekotoran dan menjadi murni. Batin yang murni selalu penuh dengan cinta - kasih yang tanpa pamrih- untuk semuanya ; penuh kasih sayang kepada penderitaan orang lain ; penuh kegembiraan atas sukses dan kebahagiaan orang lain ; penuh keseimbangan dalam menghadapi segala situasi.

Saat seseorang mencapai tahap ini, seluruh pola kehidupannya mulai berubah. Tak mungkin lagi ia melakukan tindakan fisik atau vokal yang akan mengganggu kedamaian serta kebahagiaan orang lain. Sebaliknya batin yang seimbang tidak saja membuatnya damai dalam dirinya, tapi juga membantu orang lain menjadi damai. Atmosfir sekeliling orang itu akan terisi dengan Damai dan harmoni, dan ini akan mulai mempengaruhi orang-orang lain di sekelilingnya.

Dengan belajar tetap seimbang dalam menghadapi semua yang dialami dalam tubuhnya, orang akan juga mampu mengembangkan ketidakmelekatan terhadap semua situasi eksternal yang ia jumpai. Bagaimanapun, ketidakmelekatan ini bukanlah malarikan diri atau sikap tak peduli terhadap masalah duniawi. Seorang meditator Vipassana menjadi lebih sentitif terhadap penderitaan orang lain, dan berusaha sebisanya untuk meringankan penderitaan mereka - tidak dengan kegelisahan tapi dengan batin yang penuh cinta kasih, kasih sayang dan keseimbangan. Ia belajar ketidakmelekatan suci yakni bagaimana dapat terlibat penuh dalam membantu orang lain, sambil pada saat bersamaan menjaga keseimbangan batinnya. Dengan cara ini ia tetap damai dan bahagia, sewaktu bekerja untuk kedamaian dan kebahagiaan orang lain.

Inilah yang diajarkan oleh Sang Buddha : suatu Seni Hidup. Beliau tidak pernah membentuk atau mengajarkan suatu agama atau aliran. Beliau tidak pernah memerintahkan pengikutnya melakukan ritus atau ritual suatu formalitas kosong atau buta. Sebaliknya beliau hanya mengajarkan untuk mengamati alam sebagaimana adanya dengan mengamati realita di dalam tubuh. Karena ketidaktahuan, orang selalu bereaksi dengan cara-cara yang membahayakan dirinya dan juga orang lain. Tapi saat kebijaksanaan timbul - kebijaksanaan mengamati realita sebagai mana adanya - ia keluar dari kebiasaan bereaksi ini. Saat seorang berhenti bereaksi secara buta, ia mampu bertindak benar - tindakan yang keluar dari batin yang seimbang, batin yang melihat dan mengerti kebenaran. Tindakan demikian hanya bisa positif, kreatif, membantu dirinya dan juga orang lain.

Apa yang diperlukan sekarang adalah mengenal diri Anda sendiri - demikian nasihat para bijaksana. Seorang harus mengenal diri sendiri tidak hanya pada tingkat intelek, tingkat wacana dan teori, bukan juga pada tingkat emosi ataupun kebaktian yang hanya menerima secara buta apa yang didengar atau dibaca. Pengetahuan yang demikian tidak cukup. Seorang harus mengenal realita pada tingkat nyata. Orang harus mengalami langsung realita dari fenomena materi-batin ini. Hanya ini yang akan membantu kita keluar dari kekotoran, keluar dari penderitaan.

Pengalaman langsung atas realita dalam diri seseorang, teknik mengamati diri sendiri inilah yang disebut 'Meditasi Vipassana'.Dalam bahasa India pada masa Sang Buddha , passana berarti melihat dengan mata terbuka seperti biasa, vipassana adalah mengamati sesuatu sebagai mana adanya, tidak sebagai apa yang terlihat. Kebenaran yang terlihat harus ditembus sampai seorang mencapai kebenaran akhir dari seluruh struktur materi-batin. Saat seorang mengalami kebenaran ini, ia akan berhenti bereaksi secara buta, berhenti menimbulkan kekotoran-kekotoran - dan secara alami, kekotoran lama akan berangsur tercabut. Orang itu akan keluar dari semua penderitaan dan merasakan kebahagiaan.

Terdapat tiga langkah dalam Kursus Meditasi Vipassana. Pertama tidak melakukan tindakan fisik atau ucapan yang mengganggu kedamaian serta keharmonisan orang lain. Seseorang tidak bisa membebaskan diri dari kekotoran batinnya bila ia terus melakukan perbuatan-perbuatan yang hanya memperbanyak kekotoran. Jadi aturan moral ini adalah penting sebagai langkah awal dari latihan. Kemudian orang berjanji tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berhubungan sex, tidak berbohong dan tidak mabuk. Dengan mematuhi aturan-aturan tersebut di atas dan menghindari diri dari perbuatan-perbuatan tersebut di atas, seseorang bisa menenangkan batinnya untuk melakukan tugas-tugas selanjutnya.

Langkah berikutnya adalah mengembangkan penguasaan atas pikiran yang liar dengan melatih untuk fokus tetap pada satu objek : Pernafasan. Seseorang mencoba memusatkan perhatian pada pernafasan selama mungkin. Ini bukanlah latihan pernafasan nafas : orang tidak mengatur pernafasan, sebaliknya nafas yang alami diamati sebagaimana adanya sewaktu nafas masuk dan keluar. Dengan cara ini pikiran/batin ditenangkan sehingga tidak lagi dapat dikuasai oleh negatifitas yang ganas. Pada waktu yang sama, pikiran dipusatkan, membuatnya menjadi tajam dan menembus, mampu untuk melakukan tugas-tugas pencerahan ke dalam diri.

Dua langkah pertama, yakni kehidupan yang bermoral dan penguasaan pikiran, adalah sangat penting dan bermanfaat. Tapi keduanya hanya akan membawa pada penekanan diri, kecuali jika seseorang mengambil langkah ketiga - memurnikan pikiran dari kotoran dengan mengembangkan pencerahan ke dalam diri seseorang. Ini adalah Vipassana : mengalami realita diri sendiri melalui pengamatan yang tenang dan sistimatis dari fenomena materi-batin yang selalu berubah yang terwujud sebagai sensasi-sensasi yang timbul dalam tubuh. Ini adalah puncak dari ajaran Sang Buddha: pemurnian diri melalui pengamatan diri.

Ini bisa dilakukan oleh semua orang. Setiap orang mengalami penderitaan, itu adalah penyakit universal yang memerlukan pengobatan universal. Bukan pengobatan sektarian. Bila seseorang menderita karena kemarahan, ini bukan kemarahan milik Buddhis, Hindu atau Kristen. Kemarahan adalah kemarahan ketika seseorang teragitasi sebagai akibat dari kemarahannya, maka agitasi tidaklah memandang apakah ia Kristen, Hindu atau Buddhist. Penyakit ini adalah universal. Obatnyapun harus universal.

Vipassana adalah obat yang dimaksud. Tak akan ada orang yang berkeberatan dengan Tata Tertib menjalani Hidup yang menghormati kedamaian dan keharmonisan orang lain. Tak kan ada yang berkeberatan dengan pengembangan penguasaan terhadap pikiran, tak kan ada pula yang berkeberatan terhadap pengembangan pencerahan ke dalam diri sendiri, yang memungkinkan seseorang untuk membebaskan pikiran dari negatifitas-negatifitas.

Vipassana adalah jalan universal.
Mengamati realita sebagai mana adanya melalui pengamatan kebenaran dalam tubuh - ini adalah mengenal diri sendiri pada tingkat kenyataan dan tingkat pengalaman. Dengan berlatih seseorang dapat keluar dari penderitaan yang diakibatkan oleh kekotoran batin. Dimulai dari kebenaran yang kasar, eksternal dan kasat mata, orang mulai menembus kepada kebenaran akhir dari materi-batin, kemudian orang akan dapat meningkatkan diri sedemikian rupa sehingga ia akan mengalami suatu kebenaran yang melampaui materi-batin, melampaui ruang dan waktu ; melampaui bidang kenisbian yang terkondisi : Suatu kebenaran dari pembebasan total atas semua kekotoran, semua ketidakmurnian dan semua penderitaan. Nama apapun yang diberikan pada kebenaran ultima ini tidaklah relevan ; ini adalah tujuan akhir dari semua orang.

Semoga semua mengalami kebenaran akhir ini.Semoga semua orang keluar dari kekotorannya, penderitaannya. Semoga mereka menikmati kebahagian sejati, kedamaian sejati, keharmonisan sejati.

SEMOGA SEMUA MAHLUK BERBAHAGIA

Text diatas adalah berdasarkan ceramah yang diberikan oleh Mr. S.N. Goenka di Berne, Switzerland.

Minggu, 30 Januari 2011

Penyebab Dan Cara Mengatasi Sesak Nafas

NNChannels, Jakarta - Seberapa sering kita mensyukuri kenikmatan bernafas? Setelah mengalami asma, bronchitis, alergi, flu ataupun tidak diketahui penyebabnya, barulah disadari bahwa hidup tidak terlalu nikmat bila harus mengatur strategi hanya untuk bernafas.

Oksigen adalah sumber energi utama, maka mutlak diperlukan dalam jumlah berlimpah agar setiap sel dapat melakukan metabolisme. Beberapa penyebab sulit bernafas di antaranya, pertama adalah faktor keturunan, yang memang dari sono-nya memiliki paru-paru dan organ pernafasan lemah. Ditambah kelelahan bekerja dan gelisah, maka bagian-bagian tubuh akan memulai fungsi tidak normal.
Kabar baiknya, ini tidak otomatis membuat tubuh menderita, sebab secara alami akan melindungi diri sendiri. Namun demikian, sistem pertahanan bekerja ekstra, bahkan kadang-kadang alergi dan asma timbul sebagai reaksi dari sistem pertahanan tubuh yang bekerja terlalu keras.
Kedua, karena faktor lingkungan. Udara dingin dan lembab dapat menyebabkan sesak nafas. Demikian pula dengan serbuk sari bunga (pollen) dan partikel lain. Bekerja di lingkungan berdebu atau asap dapat memicu sesak nafas berkepanjangan. Polusi pada saluran hidung disebabkan pula oleh rokok yang dengan langsung dapat mengurangi suplai oksigen.
Ketiga, adalah produksi lendir yang berlebihan akan menyumbat saluran udara. Makanan yang menyebabkan produksi lendir berlebih adalah produk dari susu, tepung, nasi putih, dan permen.
Penyebab sesak nafas yang keempat dapat pula karena kurangnya asupan cairan sehingga lendir pada paru-paru dan saluran nafas mengental. Kondisi ini juga menjadi situasi yang menyenangkan bagi mikroba untuk berkembang biak.
Kelima, masalah pada susunan tulang atau otot tegang pada punggung bagian atas akan menghambat sensor syaraf dan bioenergi dari dan menuju paru-paru.
Hal keenam yang juga dapat menimbulkan sesak nafas adalah ketidakstabilan emosi. Orang-orang yang gelisah, depresi, ketakutan, rendah diri cendertung untuk sering menahan nafas. Atau justru menarik nafas terlalu sering dan dangkal sehingga terengah-engah. Dalam waktu yang lama, kebiasaan ini berpengaruh terhadap produksi kelenjar adrenal dan hormon, yang berkaitan langsung dengan sistem pertahanan tubuh. Kurang pendidikan bisa juga menyebabkan sesak nafas. Pengetahuan akan cara bernafas yang baik dan benar akan bermanfaat dalam jangka panjang baik terhadap fisik maupun emosi seseorang.
Jalan keluar untuk mengatasi sesak nafas yang paling cepat adalah berada pada lingkungan hijau dan lapang. Jika tidak memiliki kemampuan untuk sering pergi keluar kota, ke gunung atau laut, tanamlah pohon berdaun hijau lebat di sekitar tempat tinggal yang akan memproduksi banyak oksigen dan menyerap polusi. Setiap saat menemukan lingkungan hijau dan bersih, berjalan kakilah dan hirup udara dalam-dalam.
Para penyandang sesak nafas kronis sebaiknya menghindari konsumsi bahan susu berlebihan, gula putih, permen, tepung dan nasi putih. Jika nafas sudah mulai teratur, makanan itu dapat dikonsumsi dalam jumlah sedikit untuk melihat reaksi tubuh. Dalam waktu yang sama konsumsi buah dan sayuran dalam jumlah banyak. Minum air hangat 6-8 gelas per hari.
Jika sesak nafas diiringi flu atau demam, makanlah sup yang dibumbui bawang merah, bawang putih, lada, kayu manis, jahe dan cengkih. Bumbu tersebut dapat membantu membuka sumbatan pada saluran nafas.
Mengelola emosi sangat penting untuk menyembuhkan masalah pernafasan. Banyak cara yang bisa dilakukan seperti berpikiran positif, menghilangkan ketakutan yang tidak beralasan, bahkan sering tersenyum akan sangat membantu. Namun demikian cara mengelola emosi yang tepat hanya diketahui oleh pribadi masing-masing.
Olahraga yang menggerakkan punggung atas dan dada sangat membantu mengalirkan darah dan energi penyembuhan. Perlu diingat jika kita merawat tubuh dan pikiran, imbal baliknya adalah kenikmatan yang tak terkira. [ES/L1] Dari berbagai sumber
Dapatkan berita populer pilihan Anda gratis setiap pagi disini atau akses mobile langsung http://m.inilah.com via

Selasa, 25 Januari 2011

Keikhlasan & Kepasrahan Diri

Keikhlasn & Kepasrahan Diri
Lihatlah bagaimana semesta hadir dalam geraknya yang harmonis, meski kadang ditingkahi gejala-gejala gerak yang sepertinya “dissorder” (menyimpang) seperti fenomena gempa bumi, perubahan cuaca yang ekstrim, tanah longsor . dan sebagainya yang dilatar-belakangi ulah segelintir manusia juga.
Semesta berdenyut dalam sebuah gerak ketaatan pada fitrahnya tanpa syarat (ikhlasnya alam semesta). Sebuah kepatuhan pada system yang berangkat dari keikhlasan mutlak kepada kodratnya. Bahasa alam yang penuh misteri, bagaimana mereka semua bertasbih hanya kepada sesembahan tunggalnya, Allah ya Rabbal’alamiin. Bayangkan seandainya satu saja komponen semesta ini keluar dari kepatutannya (ketaatan), bencana besar akan terjadi. Sunatullah diselenggarakan serta dibingkai oleh Allah SWT dengan segala kemaha-an sifat dan asmaNYA.

Analogi dengan uraian diatas,
demikian halnya yang terjadi pada sosok anak manusia. Saat diri dihadapkan dengan problematika di keseharian hidup dan “kehidupan”nya, pencapaian “top performance nya diri” ditentukan oleh seberapa besar kwalitas peraihan keihlasan dalam menyikapi sebuah permasalahan. Betapa sebuah keikhlasan akan mengantar diri manusia pada fitrahnya sehingga mencapai apa yang disebut keseimbangan diri dalam absis dan ordinat (maqom) penghambaan kepada sang Khalik! Disaat inilah diri telah menemukan harmonisasi antara diri yang makhluk dengan Allah yang pemilik segenap cipta. Sebuah kondisi harmonis antara diri fisik/materi dengan diri spiritual, dalam proses interaksi diri-sekitar/semesta-Pencipta.

Persoalannya bagaimana meraih, membangun, meningkatkan/mengembangkan serta mempertahankan keikhlasan tersebut?

Banyak definisi dan deskripsi tentang keikhlasan yang telah ditulis, dikumandangkan lewat berbagai event. Saya tidak dalam kapasitas/kompetensi menguraikan tentang hal ini. Yang ingin saya sharing adalah ’salah satu’ cara meraih keikhlasan dengan sebuah proses mengalami bukan sekedar kata si anu, menurut tulisan anu dan sebagainya, tetapi berdasarkan pengalaman keseharian dalam hidup saya dan anda sendiri.

Mengalirlah….mengalirlah dijwa
yang tiada pamrih,
demi memberi dan melayani kehidupan…
semangat yang jernih akan mewujud kedahsyatan Daya.
Daya Cinta yang mengayomi persada Ibu Pertiwi tercinta.
Exposse dari tulisan ini adalah keikhlasan merupakan bagian terpenting untuk menemukan kebahagiaan sejati.

Betapa seseorang tergerak (”digerakkan”) oleh sebuah energi yang berkarakter cinta kasih. Cinta kasih adalah salah satu sifat dan asmaNYA yang agung. ketika gerak terbebas dari kendala-kendala keluh kesah, tidak berhitung-hitung. Karena apa? karena diri teradiasi penuh oleh sebuah rasa syukur yang dalam atas karunia-karuniaNYA yang selama ini begitu tak terhingga besarnya. Jadi yang terlihat adalah pemberianNYA yang tanpa pamrih karena…Cinta! Shortcutnya adalah, ketika musibah atau problema dihadirkan didepan diri, cobalah men”set-up mata jiwa” focus pada kasih sayang Allah yang tak terhingga kepada diri. Hentikan sejenak pikiran, hadirkan rasa yang hanya menerima kasihNYA. Tanpa ini, amat sangat sulit melihat musibah sebagai bagian dari cintaNYA.

~Coba rasakan dengan sepenuh hati, udara yang dihirup lewat nafas! oksigen yang tidak satu manusiapun sanggup membuatnya, gratis pula (kecuali di UGD/Rmh sakit..kudu bayar). nikmati ini mengaklir kedalam diri lewat sebuah tata pernafasan tubuh. lafazkan…ya Allah…….

~Hembuskan Alhamdulillah….! terima realitas diri dengan rasakan kasih sayangNYA yang unlimited! Kedepankann rasa syukur sebagai background, rasakan relaxasi yng muncul…biarkan semua mengalir bersama rasa syukur kepada Allah.
Tips: jangan menkonsentrasikan bobot pikiran (pada otak kiri), lebih kedepankan otak kanan yang holistik….rasa…! biarkan pikiran datang dan pergi.

~Amati saja dalam rasa…semakin dalaaaam…..terus…hirup lembut…ya Allah…hembuskan…lafazkan Alhamdulillah sambil mulai perlahan membayangkan problem dan menyerahkan kehadirat Alllah.

~Inilah momentum diri yang “melihat” realitas diri serta menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Sebuah momentum penting saat “maunya diri” dipertemukan dengan “KEHENDAK DIRI” dan lalu diri fana, maka tunduklah diri menerima KEHENDAK DIRI. inilah moment tawwakal (berserah diri total). Seketika diri menemukan keseimbangan, harmonis dengan KEHENDAK sehingga insyaALLAH harmonis dengan peristiwa sekitar.

Maka ikhlaslah tubuh materi dan spiritual, karena diri merima tanpa “gemrungsung”, realitas fitrah diri yang sunatullah; Ruh-jiwa-tubuh <>makhluk sekitar<>alam sekitar/semesta dalam sebuah keseimbangan (harmony). Mengalir…mengalirlah diri dalam “gerak Cinta”NYA!
Subhanallah!

Karena nafas adalah sesuatu yang otamtis dan bagian dalam hidup didunia ini, maka Pernafasan dalam irama dan nuansa ini juga dapat diaplikasikan saat melakukan ritual ibadah. Jadikanlah olah nafas sebagai bagian aktivitas “kehidupan” yang Dzikrullah. InsyaAllah mengantarkan kita pada kearifan menyikapi hidup dalam meraih “kehidupan” (hijrah).

Kita semua sedang menjalani proses, proses hijrahnya diri yg melalui ‘ladang-ladang maknawi’ untuk menanam kebajikan berbuah ridho’NYA , dari orang menuju manusia hingga masuk dimensi ke-hambaa-an, yg juga masih terus terproses untuk bisa istiqomah.
InsyaALLAH terlindung dari badai keresahan kebanyakan umat manusia yang ‘bingung’ dalam pencarian kebahagiaan hidupnya, sehingga acap tergelincir dalam ‘ladang persepsi sepihak’ berbuah kesombongan dalam deklarasinya yang ‘merasa’ jadi pemilik otoritas atas kebenaran “wangsit” yang sebenernya diperoleh dari penjelajahan hawa nafsu dalam fikir yang bukan tafakur.

Sabtu, 22 Januari 2011

Kekosongan Dan Penolakan

Kekosongan Dan Penolakan
(dikutip dari buku "Kesadaran Sejati - Wisnu Prakasa")

Arti dari Kekosongan (Emptiness, Kesunyataan) bukanlah menolak segalanya,
tetapi Kekosongan yang sebenarnya adalah
"Mengenal kesadaran alamiah dari semuanya"

Disaat belajar meditasi dengan mengosongkan pikiran, bukanlah bearti harus menghilangkan apa yang ada semuanya. Seperti apa yang tampak dihadapan, apa yang didengar, rasa sakit dipinggang yang mulai terasa, rasa lapar, rasa ngantuk, sakit digigit nyamuk, ataupun suhu ruangan yang terlalu panas atau terlalu dingin.

Kita tidak perlu melawan ataupun berusaha mencoba menghilangkan sakit dipinggang ataupun gatal-gatal gigitan nyamuk. Juga kita tidak perlu berusaha untuk merubah pikiran kita bahwa kita tidak kedinginan dan kelaparan. Semua perlawanan dan penolakan ini bukanlah arti sebenarnya dari kekosongan. Semakin mereka menolak, maka semakin besar kesulitan yang akan dihadapi.

Walaupun pada awalnya mereka merasa mampu menghilangkan semua rasa tersebut, tetapi pada akhirnya mereka akan menyerah. Janganlah para murid hanya meniru apa yang dilakukan dan diperbuat oleh para Guru Besar, tanpa memahami makna pembinaan yang sebenarnya. Pahamilah bahwa kondisi tubuh dan keadaan setiap mahluk berbeda-beda, demikian pula pencapaian dan kejernihan kesadaran para mahluk juga berbeda-beda.

Diwaktu lampau, Guru Besar Bodhidharma duduk bermeditasi menghadap dinding gua selama bertahun-tahun tanpa makan dan minum. Para umat yang tidak memahami dasar pembinaan Bodhidharma hanya meniru meditasi yang dilakukan Bodhidharma. Mereka merasa bangga bilamana dapat mencontoh keberhasilan Bodhidharma yang bermeditasi bertahun-tahun tanpa makan dan minum.

Para umat berkeras kepala untuk menirunya, mungkin dapat melawan rasa lapar tersebut pada awalnya, sehingga rasa lapar dapat ditahan atau menghilang selama beberapa hari. Bilamana mereka meneruskan hingga berminggu-minggu dengan melawan rasa lapar tersebut, tetapi sangat disayangkan pada akhirnya mereka akan meninggal karena kelaparan sebelum mendapatkan pencerahan.

Bodhidharma dapat mencapai tahap meditasi kekosongan tersebut karena beliau telah membina dan berlatih tahap-tahap sebelumnya, tetapi banyak umat yang mencari jalan pintas dan hanya mencontoh untuk menginginkan hasil secepat mungkin. Mereka tidak menyadari bahwa pencapaian tersebut diperlukan pembinaan dasar yang kuat, tetapi mereka hanya mencontoh dan mengambil jalan pintas sehingga mengabaikan dan memandang rendah tahap-tahap dasar sebelumnya.

Saat kita bermeditasi kekosongan, dan timbul rasa lapar, rasa sakit pinggang , gatal-gatal nyamuk, dan rasa dingin dari ruangan. Kita harus dapat menerima ini semua. Rasakanlah sakit pinggang dan gatal-gatalnya, dan rasakan ruangan yang dingin ini, rasakan rasa lapar yang timbul. Bilamana memang kita belum makan, kenapa kita tidak makan dahulu? Bilamana terasa terlalu dingin, dapatkah kita mencari tempat posisi yang lebih hangat ? Tetapi kadangkala kita tidak mempunyai pilihan lain dan harus menerima keadaan tersebut, disini kita memerlukan suatu pemahaman kesadaran yang sesungguhnya dari keadaan diri.

Bilamana kita telah mengetahui keadaan kita yang sebenarnya, maka tubuh dan pikiran kita dapat menerima semua yang timbul tanpa harus bereaksi untuk menjadikannya sebagai suatu penghalang. Bilamana kita memahami keadaan yang sebenarnya ini dengan Kesadaran Sejati yang tetap jernih dan tenang, maka kita akan mengerti dan memahami arti kekosongan yang sesungguhya.

Memahami alamiah kekosongan juga bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh kecil yang penah saya hadapi disaat saya harus menjalani operasi amandel.

Pada pagi hari sekitar jam 9 saya menjalani operasi amandel sekitar 2 jam. Kemudian saya dibawa kekamar rawat. Dokter yang mengoperasi saya memberitahukan bahwa saya dapat keluar dari rumah sakit bilamana sudah bisa makan dan minum, karena beliau khawatir bilamana saya tidak dapat menelan makanan ataupun minum, maka beliau menyarankan untuk diinfus.

Dengan rasa sakit di tenggorokan, saya memaksakannya untuk bertanya kepada dokter apabila saya sudah bisa makan dan minum, apakah saya bisa keluar hari ini juga. Dokter dengan tersenyum menyetujuinya, lalu beliau menawarkan setiap saat bisa meminta es krim. Bila dapat menghabiskan setengahnya saja, saya dapat diizinkan keluar dari rumah sakit.

Saya kemudian meminta es krim kepada seorang perawat, karena saya ingin mencobanya. Sebenarnya hal ini suatu yang berat sekali, untuk berbicara saja saya sudah sulit sekali. Dan juga saya rasakan air ludah sendiri saja, tidak dapat saya telan walaupun sedikit sekali.

Tidak berapa lama, suster tersebut membawakan 2 scope es krim di mangkok dan 1 gelas air putih dihadapan saya, berbagai gambaran perasaan khawatir mulai timbul membangkitkan rasa takut agar tidak mencobanya.

Saya menyadari sepenuhnya, semua gambaran pikiran yang timbul lalu. Berbagai macam gambaran pikiran yang timbul silih berganti, tetapi tetap saja saya tidak mengikutinya. Saya selalu menyadari alamiah kejernihan Kesadaran, akhirnya gambaran pikiran tersebut tidak lagi memperdaya, sehingga rasa takut dan khawatir tidak lagi timbul. Kemudian secara perlahan-lahan saya mencoba 1 sendok kecil es krim kedalam mulut saya. Disini saya merasakan rasa sakit yang luar biasa di tenggorokan saya.

Seketika itu juga, berbagai macam gambaran pikiran terus timbul ingin menutupi kejernihan kesadaran sejati akan rasa sakit yang alamiah. Gambaran pikiran yang timbul selalu ingin memperdaya kesadaran saya, sehingga rasa sakit yang ada menjadi penderitaan, kesedihan, dan ketakutan yang berkepanjangan. Kesadaran saya tetap laksana penonton yang melihat gambaran-gambaran pikiran yang terus timbul dan hilang silih berganti. Saya menyadari seluruh gambaran pikiran lainnya yang mengikuti rasa sakit luar biasa yang dirasakan, tetapi seluruh gambaran pikiran dapat saya pisahkan dengan kejernihan Kesadaran Sejati.

Rasa sakit di dalam tenggorokan, saya rasakan benar-benar apa adanya dan saya menerima rasa sakit yang timbul ini dengan Kesadaran yang tetap jernih dan tenang. Walaupun sakitnya terasa sekali, bukanlah menjadi suatu penderitaan dan penghalang bagi saya. Sulit bagi saya untuk melukiskan alamiah keadaan yang sesungguhnya ini dengan kata-kata. Mungkin mereka yang telah memahami Kesadaran Sejati akan mengerti maksud saya yang sebenarnya. Yang ada saat itu adalah Saya dan Rasa Sakit menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Saya tidak menolak, melawan, atau menahan rasa sakit yang timbul, tetapi saya menyadari:
"Rasa sakit adalah rasa sakit".
"Saya adalah rasa sakit, rasa sakit adalah saya, Hanyalah Ini !"


Walaupun saya merasakan sakit yang luar biasa, rasa sakit yang timbul tidak menjadi penghalang bagi diri saya untuk menelan es-krim ini. Rasa sakit dan saya menyatu tanpa beda, sehingga saya menyadari bahwa rasa sakit ini bukanlah penghalang yang harus saya hilangkan. Rasa sakit ini memang benar dan nyata, karena alamiah saya yang masih mempunyai tubuh kasar.

Saya mencoba sendok kedua dan seterusnya hingga akhirnya saya dapat menghabiskan es-krim dan meminta satu gelas air putih. Tampak jelas rasa kaget di wajah Dokter dan para suster yang menyaksikan kenekatan saya untuk menghabiskan semuanya. Lalu saya berkata, bahwa saya akan pulang siang ini juga. Dokter langsung tersenyum kepada saya dan menyetujuinya. Beliau juga memuji saya kenekatan saya, dan sambil bercanda mengatakan bahwa Dirinya bagaikan turut merasakan sakit, ketika saya memakan es krim.

Sore harinya saya keluar dari rumah sakit, langsung pergi kerumah makan untuk memesan nasi hainan. Sendok pertama terasa sakit kembali, tetapi saya mencoba kembali cara diatas hingga akhirnya saya dapat menghabiskan juga tanpa sisa.

Disini saya tidak berusaha menolak rasa sakit yang timbul, atau berusaha menahan rasa sakit. Saya hanya berusaha memahami rasa sakit yang timbul. Saya hanya menerima rasa sakit yang timbul dan merasakan sakitnya dengan menjaga Kesadaran Sejati tetapi jernih dan tenang. Hingga akhirnya saya memahami bahwa rasa sakit ini adalah bagian dari diri saya, dan saya harus menerima rasa sakit ini. Bilamana kita telah memahaminya, maka rasa sakit dan Kesadaran Sejati bukanlah dua hal yang harus dipisahkan.

Mungkin ada yang menduga bahwa saya sebagai orang yang mempunyai kelebihan dapat mengontrol dan menguasai syaraf yang menimbulkan rasa sakit. Sebenarnya, saya bukanlah orang yang mempunyai kelebihan tersebut. Saya bahkan tergolong lebih sensitif terhadap respon syaraf saya dibandingkan secara umumnya.

Bersyukurlah saya atas amandel saya ini, karena dengan keadaan ini saya dapat lebih memahami apa yang oleh Para Mahluk Suci dan Guru jelaskan tentang Kesadaran Sejati dan Kekosongan itu. Walaupun ini hanya sebagai contoh kecil yang saya alami dalam proses awal pembinaan Kesadaran Sejati.

Dengan memahami arti kekosongan yang sesungguhnya, kita akan mengerti bahwa yang membuat diri kita tidak kosong adalah gambaran pikiran yang selalu menutupi kesadaran sejati kita sehingga kita tidak lagi menyadari sifat alamiah dari segalanya. Rasa sakit adalah sifat alamiah karena amandel saya yang dioperasi, tetapi kesedihan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh rasa sakit tersebut merupakan gambaran pikiran yang menutupi kesadaran sejati.

Selasa, 18 Januari 2011

Hakekat Rukun Islam Menurut Syeh Siti Jenar

Hakekat Rukun Islam Menurut Syekh Siti Jenar
7 Februari 2010sisablengTinggalkan komentarGo to comments
1 Votes

1. Syahadat (Sasahidan Ingsun Sejati)

Selama ini, syahadat umumnya hanya dipahami sebagai bentuk mengucapkan kata “Asyhadu an la ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad al-rasul Allah”. Dan karena hanya pengucapan, wajar jika tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap mental manusia. Siapapun toh dapat mengucapkannya, walau kebanyakan tidak memahaminya. Padahal makna sesungguhnya bahwa syahadat adalah “kesaksian” bukan “pengucapan” kalimat yang menyatakan bahwa ia telah bersaksi.

Ketika kita mengucakan kata “Allah”, maka kata ini harus hadir dan lahir dari keyakinan yang mendalam. Pada saat pengucapan, kita harus yakin bahwa Allah “ada” pada diri nabi-Nya, dan bahwa setiap diri kita mampu membawa peran nabi tersebut. Dalam ma’rifat, nabi dan kenabian sebagai suatu hal yang selalu hidup. Dan ketika person nabi terakhir diberi label “Muhammad”, maka ia adalah langsung dari nur dan ruh Muhammad, dan menyandang nama spiritual sebagai “Ahmad”. Dan ketika kata “Ahmad” disebutkan, Nabi Muhammad sering mengemukakan bahwa “ana Ahmad bila mim” (aku adalah Ahmad yang tanpa mim), yakni “Ahad”. Ketika suku bangsa dzahir “arab” disebutkan, beliau sering mengemukakan “ana ‘arabun bila “Ain”, (aku adalah “Arab tanpa ‘Ain), yakni “Rabb”. Inilah kesaksian itu, atau syahadat.

Kalau kita membayangkan nabi secara fisikal maka kita akan menghayalkan tentang nabi. Nah, pada saat Allah kita rasakan hadir atau bersemayam dalam diri Nabi yang berada di kedalaman lubuk hati kita, maka terlepaslah ucapan “Muhammad al-Rasul Allah” sebagai kesaksian. Lalu kesaksian ini kita lepaskan ke dalamDzat Allah. Sehingga kemudian tercipta apa yang disebut sebagai “Tunggal ing Allah hiya kang amuji hiya kang pimuji”, kemanunggalan dengan Allah sehingga baik yang memuji dan yang dipuji tidak dapat dipisahkan.

Pada konteks syahadat yang seperti itulah kemudian lahir ajaran tentang “wirid sasahidan” dari Syekh Siti Jenar, dalam bentuk pengucapan hati sebagai berikut (Sholikhin: 2004, 182-183)

Ingsun anakseni ing datingsun dhewe
Satuhune ora ono pangeran among ingsun
Lan nekseni satuhune Muhammad iku utusaningsun
Iya sejatine kang aran Allah iku badaningsun
Rasul iku rahsaningsun
Muhammad iku cahyaningsun
Iya ingsun kang urip tan kena ing pati
Iya ingsun kang eling tak kena lali
Iya ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati
Iya ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji
Iya ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kekurangan ing pakerti
Byar
Sampurna padhang terawangan
Ora kerasa apa-apa
Oa ana katon apa-apa
Mung ingsun kang nglimputi ing alam kabeh
Kalawan kodratingsun.

Artinya:
Aku bersaksi di hadapan Dzat-ku sendiri
Sesungguhnya tiada tuhan selain Aku
Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku
Sesungguhnya yang disebut Allah itu badan-Ku
Rasul itu rasa-Ku
Muhammad itu cahaya-Ku
Akulah yang hidup tidak terkena kematian
Akulah yang senantiasa ingat tanpa tersentuh lupa
Akulah yang kekal tanpa terkena perubahan di segala keadaan
Akulah yang selalu mengawasi dan tidak ada sesuatupun yang luput dari pengawasan-Ku
Akulah yang maha kuasa, yang bijaksana, tiada kekurangan dalam pengertian
Byar
Sempurna terang benderang
Tidak terasa apa-apa
Tidak kelihatan apa-apa
Hanya aku yang meliputi seluruh alam
Dengan kodrat-Ku

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kesaksian tersebut diperoleh berdasarkan lelaku. Maka setelah lahirnya kesaksian tersebut juga harus disertai dengan lelaku pula. Yaitu diikuti dengan semedi atau dzikir rasa sehingga kemudian dapat mengalami mati dalam hidup dan hidup dalam mati. Dzikir seperti ini dilakukan dengan meng-heneng-kan diri dan mengheningkan cipta serta karsa sehingga kembali tercipta kesatuan hati, pikiran dan rasa hidup. Hal ini dilakukan dengan menyatukan pancaindera, memejamkan mata dan mengarahkannya ke pucuk hidung (pucuking ghrana), sambil menyatukan denyut jantung, harus diatur pula pernapasan yang masuk dan keluar jangan sampai tumpang tindih.

Biasanya praktik sasahidan ini akan berujung pada bercampurnya rasa hati dan hilangnya segenap perasaan. Kalau sudah mencapai kondisi ini, maka harus diturunkan ke dalam jiwa dan menyebar ke seluruh sel-sel dan syaraf tubuh. Sehingga akan tercapailah ketiadaan rasa apapun dan akan memunculkan sikap ke-waskitha-an (eling lan waspadha).

Dengan demikian wajar jika pada kesimpulannya tentang makna syahadat, Syekh Siti Jenar memberikan makna syahadat sebagai etos gerak, etos kerja yang positif, progresif, dan aktif. Syekh siti jenar mengemukakan bahwa syahadat tauhid dan syahadat rasul mengandung makna jatuhnya rasa (menjadi etos), kesejatian rasa (unsur motorik), bertemunya rasa (ide aktif dan kreatif), hasil karya yang maujud serta dampak terhadap kesejatian kehidupan (Sholikhin: 2004, 187). Itulah makna syahadat yang sesungguhnya dari sang insan kamil.

2. Sholat

“Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat) yang khusyuk” (QS Al. Baqarah/ 2:238). Ini adalah penegasan dari Allah tentang kewajiban dan keharusan memelihara shalat, baik segi dzahir maupun batin dengan titik tekan “khusyuk”, kondisi batin yang mantap.

Secara lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah, sujud, duduk dsb. Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah shalat jasmani dan fisikal. Karena semua gerakan badan berlaku dalam semua shalat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawaati (segala shalat) yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah.

Bagian kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah, yakni di tengah “diri”, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk mendapatkan kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah, antara kiri dan kanan, antara depan dan belakang, atas dan bawah, serta antara baik dan jahat. Hati menjadi titik tengah, poin pertimbangan. Hati juga diibaratkan berada diantara dua jari Allah, dimana Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang ia kehendaki. Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah, yaitu sifat Yang Menghukum dan Meng-adzab dengan sifat Yang Indah, Yang Kasih Sayang, dan Yang Lemah Lembut.

Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah sholat serta ibadahnya hati, kondisi khusyu’ menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak khusyuk, maka jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau ini terjadi, kedamaian yang didambakan akan hancur pula. Apalagi shalat jasmani hanya bisa dicapai dengan hati yang khusyuk. Kalau hati tidak khusyuk, serta tidak dapat konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa disebut shalat. Juga tidak akan dapat dipahami apa yang diucapkan, dan tentu apa pun yang dilakukan dengan bacaan dan gerakannya tidakakan bisa mengantarkan sampai kepada Allah.

Urgensi ke-khusyuk-an ini berhubungan dengan inti shalat sebagai doa. Doa atau munajat, bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi berarti juga sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu adalah di dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam shalat, tidak peduli akan makna shalat rohani, shalat yang dilakukan tersebut tidak akan memberikan manfaat apa pun. Sebab semua yang dilakukan jasmaninya sangat tergantung kepada hati sebagai Dzat untuk badan. “Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati. “ (sabda Rasulullah)

Ke-khusyuk-an hati akan membawa sholat yang menghasilkan kesehatan hati. Shalat khusyuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan baik pula, bukan dengan hati yang rusak, yakni hati yang tidak dapat hadir kepada Allah.

Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal, baik tempat, waktu, kesucian badan, pakaian, dsb, maka shalat dari segi rohaniah tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk shalat rohani terletak dalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah yang ber-dzikir dan membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa alam rohaniah. Imam dalam shalat rohani adalah kemauan atau keinginan (niat) yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah. Inilah shalat tarek dan sholat daim yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.

Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur, dan hati yang tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tertidur atau terjaga. Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat, dan sepanjang hayatnya adalah untuk beribadah.

Inilah ibadah orang yang sudah mencapai ma’rifatullah, tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu, ia ada tanpa dirinya. Karena dirinya telah fana’, telah hilang lenyap. Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah.

Namun tentu saja ini berlaku setelah semua shalat-shalat fardhu dan nawafil dilaksanakan secara konsisten. Jadi, tempat suci tersebut baru bisa dijangkau setelah semua shalat syari’at itu sempurna, lalu masuk ke dalam shalat thariqat dan ma’rifat. Maka tidak bisa diartikan bahwa jika sudah berada di tingkatan ini, lalu tidak lagi melakukan shalat sama sekali. Bahkan sering dalam shalat itulah mereka mengalami fana’ dalam munajat-nya sehingga ibadah yang dilakukannya itu menyita banyak waktu. Hanya saja bentuk shalat dalam arti gerakan dan bacaan tertentu sudah tidak mengikat lagi. Shalat ditegakkan atas kemerdekaan rohani dalam menempuh laku menuju Allah.

Pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut. Tidak ada lagi gerakan berdiri, ruku’, sujud, dsb. Dia telah berbincang dengan Allah sebagaimana firman-Nya “Hanya Engkau yang kami sembah, dan hanya Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS Al-Fatihah/1: 5)

Firman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil, yakni mereka yang telah melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman rohani sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau Ke-Esaan Allah dan ber”padu” dengan-Nya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun mereka pun sering tidak mau mengungkapkannya. Tidak ingin membocorkan rahasia Ketuhanan yang tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh Allah.

Hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang bukan semata-mata ucapan “Allahu Akbar”. Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah yang memuji kebesaran Dzat-Nya. Jadi, takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut hamba-Nya. Bukan hasil dari dorongan emosional. Karenanya, takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al Allah sendiri. Takbir sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. Dan takbir sejati adalah penyebutan nama-Nya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan takbir yang demikian itu maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi tidak ada. Yang ada hanya Allah. Ke mana pun kita menghadap yang ada hanya Wajah Allah.

Maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, sempurnalah ibadah seseorang. Hati dan ruh seperti tergambar itu membawanya masuk ke Hadirat Allah. Hatinya ber”padu” mesra dengan Allah. Dalam alam nyata ia menjadi hamba yang wara’ dan ‘alim. Dalam alam rohani ia menjadi ahli ma’rifah yang telah sampai pada peringkat kesempurnaan mengenal Allah. Inilah makna bahwa shalat adalah perjalanan menuju Allah. Hasilnya adalah bahwa shalat yang dilaksanakan mencegah perilaku yang keji dan munkar. Sebaliknya menghasilkankehalusan dan kemuliaan budi dan perilaku.

Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya, hanya menjadi sekedar pelaksanaan hukum fikih sebagaimana tampak pada kebanyakan manusia dewasa ini, maka shalat tersebut telah kehilangan makna fungsionalnya. Hal inilah yang telah mendatangkan kritik tajam dari Syekh Siti Jenar.

Sadat salat pasa tan apti
Seje jakat kaji mring Mekah
Iku wes palson kabeh
Nora kena ginugu
Sadayeku durjaning bumi
Ngapusi liyan titah
Sinung swarga besuk
Wong bodho anu auliya
Tur nyatane pada bae durung uning

Artinya:
Syahadat, sholat, puasa semua tanpa makna
Termasuk zakat dan haji ke Mekah
Itu semua telah menjadi palsu
Tidak bisa dijadikan anutan
Hanya menghasilkan kerusakan di bumi
Membohongi makhluk lain
Hanya ingin surga kelak
Orang bodoh mengikuti para wali
Sementara kenyataannya sama saja belum mencapai tahapan hening

Syekh Siti Jenar mengkritik pelaksanaan hukum fikih pada masa walisanga karena ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan makna dan tujuan, kehilangan arti, dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua ajaran agama yang diajarkan oleh para ulama ketika itu menjadi kebohongan yang meninabobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak yang belum ada kenyataanya.

Oleh karenanya Syekh Siti Jenar mengajarkan praktik shalat fungsional, berbeda dengan para wali pada masanya. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syari’at, dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa, dan mewarnai seluruh pekerti kehidupan. Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesionalnya secara benar, disiplin, ikhlas, dan karena melaksanakan fungsi lillahi ta’ala, maka orang tersebut disebut melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat da’im.

Namun ternyata, ajaran shalat fungsional tersebut tidak hanya menjadi milik Syekh Siti Jenar. Di dalam Suluk Wujil bait 12-13, sebuah naskah yang ditulis pada awal abad ke-17, yang disebut-sebut sebagai warisan ajaran Sunan Bonang, menyebutkan ajaran shalat sebagai berikut:

Utamaning sarira puniki
Angrawuhana jatining salat
Sembah lawan pamujine
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang araneka
Wenange punika
Lamun aranana salat
Pun minangka kekembanging salat daim
Ingaran tata krama
Endi ingaran sembah sejati
Aja nembah yen tan katingalan
Temahe kasor kulane
Yen sira nora weruh
Kang sinembah ing donya iki
Kadi anulup kaga
Punglune den sawur
Manuke mangsa kenaa
Awekasa amangeran adan sarpin
Sembahe siya-siya.

Artinya:
Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat Isya dan maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila itu disebut shalat, maka hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama . manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah. Akibatnya dikalahkan oleh martabat hidupmu. Jika didunia ini engkau tidak mengetahui siapa yang disembah, maka engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya hanya disebarkan, tapi burungnya tak ada yang terkena tembakan. Akibatnya cuma menyembah ketiadaan, suatu sesembahan yang sia-sia.

Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya dilakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagamaan. Sementara shalat daim yang merupakan shalat yang sebenarnya. Yakni, kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Hyang Maha Agung di dalam dirinya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya adalah shalat. Diam, bicara, dan semua gerak tubuhnya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan sebagainya adalah tindakan sembahyang. Inilah hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk menebar kekejian dan ke-mungkar-an. Mampu menghadirkan rahmatan lil ‘alamin.

3. Puasa

Puasa dalam ketentuan syariat adalah menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh. Sejak masuk subuh hingga masuk waktu maghrib. Sedangkan puasa dari segi rohani bermakna membersihkan semua pancaindera dan pikiran dari hal-hal yang haram, selain menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkannya yang telah ditetapkan dalam puasa syariat. Dalam puasa harus diusahakan keduanya berpadu secara harmonis.

Puasa dari segi rohani akan batal bila niat dan tujuannya tergelincir kepada sesuatu yang haram, walau hanya sedikit. Puasa syari’at berkait dengan waktu, tetapi puasa rohani tidak pernah mengenal waktu. Terus menerus dan berlangsung sepanjang hayat du dunia dan akhirat. Inilah puasa yang hakiki, seperti yang dikenal oleh orang yang hati dan jiwanya bersih. Puasa adalah pembersihan diatas pembersihan.

Puasa tidak bermakna kalau tidak membawa pelakunya kepada kedekatan terhadap Allah. Orang awam akan cepat berbuka begitu waktu buka tiba. Tetapi orang yang rohaninya ikut berpuasa, tidak akan pernah berhenti berpuasa secara rohani walaupun secara fisik ia juga berbuka sebagaimana orang lain.

Jika orang awam merasakan kebahagiaan berpuasa saat berbuka dan pada saat melihat datangnya bulan Syawal setelah satu bulan berpuasa penuh, maka lain bagi orang yang ‘arif. Orang yang telah berma’rifat lebih mengutamakan dimensi spiritual. Ia akan menganggap kenikmatan berbuka adalah pada waktu kelak ia memasuki taman surga dan menikmati segala hal di dalamnya. Sedangkan maksud kenikmatan ketika melihat adalah kenikmatan yang diperoleh bila mereka dapat melihat Allah dengan matahati sebagai salah satu efek dari puasanya.

Namun masih ada jenis puasa yang lebih tinggi, yakni puasa hakiki atau puasa yang sebenarnya. Puasa ini memiliki martabat yang lebih bagus dari kedua puasa diatas. Puasa ini adalah puasa menahan hati dari menyembah, memuji, memuja, dan mencari ghairullah (yang selain Allah). Puasa ini dilakukan dengan cara menahan mata hati dari memandang ghairullah, baik yang lahir maupun yang batin. Namun walaupun seseorang telah sampai kepada tahapan puasa hakiki, puasa wajib tetap dibutuhkan sebagai aplikasi syari’atnya, dan sebagai cara serta sarana menggapai kesehatan fisik. Sebaliknya, jika puasa hanya memenuhi ketentuan syariat, maka “iku wis palson kabeh”, hanya sebentuk kebohongan beragama semata. Puasa merupakan tindakan rohani untuk mereduksi watak-watak kedzaliman, ketidakadilan, egoisme, dan keinginan yang hanya untuk dirinya sendiri. Inilah yang diajarkan Syekh Siti Jenar. Buahnya adalah kejujuran terhadap diri sendiri, orang lain dan kejujuran di hadapan Tuhan tentang kenyataan dan eksistensi dirinya.

Dalam puasa hakiki, hati dibutakan dari pandangan terhadap ghairullah dan tertuju hanya kepada Allah serta cinta kepada-Nya. Dengan puasa hakiki inilah esensi penciptaan akan terkuak. Manusia adalah rahasia Allah dan Allah rahasia bagi manusia. Rahasia itu berupa nur Allah. Nur itu adalah titik tengah (centre) hati yang diciptakan dari sesuatu yang unik dan gaib. Hanya ruh yang tahu semua rahasia itu. Ruh juga menjadi penghubung rahasia antara Khaliq dan makhluk. Rahasia itu tidak tertarik dan tidak pernah menaruh cinta kepada selain Allah. Dengan puasa hakiki, ruh itu diaktifkan. Oleh karenanya jika ada setitik dzarrah pun cinta terhadap ghairullah, batallah puasa hakiki. Jika puasa hakiki batal maka kita mengulanginya, menyalakan kembali niat, dan harapan kepada Allah di dunia dan akhirat. Puasa hakiki hanyalah menempatkan Allah di dalam hati, menjalani proses kemanunggalan meng-Gusti-kan perwatakan kawula.

Dengan puasa hakiki, maka kita akan menyadari bahwa sebenarnya puasa merupakan hadiah Allah untuk umat manusia. Sehingga bagi hamba Allah yang telah mencapai ma’rifat, akhirnya puasa wajib dan sunnah bukanlah berbeda. Secara lahiriah keduanya memang berbeda dari segi waktu dan cara pelaksanaannya, akan tetapi secara batiniah, esensi kedua jenis puasa itu tidak berbeda. Dengan berpuasa secara hakiki, tidak ada sekat wajib atau sunnah lagi, yang ada adalah menikmati hadiah dari Allah bagi rohani kita.

Sehingga dengan pemahaman dan pelaksanaan puasa yang seperti itu, maka akhirnya puasa tersebut akan mampu menjadi katalisator bagi hawa nafsu kita, dan hati akan semakin berkilau oleh bilasan nurullah. Ia akan menjadi motor penggerak bagi ruh al-idhafi, sebagai efek kebeningan hatinya yang dengan itulah keseluruhan kehidupan akan ditunjukkan menuju kearah al-Haqq, Illahi Rabbi.

Bagi Syekh Siti Jenar, puasa hakiki akan melahirkan watak manusia yang pengasih. Mengantarkan kesadaran untuk selalu ikut berperan serta mengangkat harkat dan derajat kemanusiaan, berperan aktif memerangi kemiskinan, dan selalu menyertai sesama manusia yang berada dalam penderitaan. Puasa hakiki adalah kesadaran batin untuk menjadikan hawa nafsu sebagai hal yang harus dikalahkan, dan ke-dzalim-an sebagai hal yang harus ditundukkan.

Oleh Syekh Siti Jenar, puasa secara lahir disubstitusikan dengan kemampuan untuk melaparkan diri. Bukan sekedar mengatur ulang pola makan di bulan Ramadhan, tetapi mampu “ngelakoni weteng kudu luwe”, membiasakan diri lapar, bukan membiarkan kelaparan. Sehingga terciptalah sistem masyarakat yang terkendali hawa nafsunya. Dan tentu saja, Syekh Siti Jenar tidak memaknai “kudu luwe” sebagai alasan lembeknya manusia secara fisik. Hal tersebut harus dikontekstualisasikan dengan kecukupan gizi yang harus terpenuhi bagi aktivitas fisik. Yang terpenting adalah kemauan dan kesadaran untuk berbagi, untuk tidak hanya memuaskan apa yang menjadi tuntutan hawa nafsunya.

4.Zakat

Syekh Siti Jenar memberikan makna aplikatif zakat sebagai sikap menolong orang lain dari penderitaan dan kekurangan. Menolong orang lain agar dapat hidup, menikmati hidup, sekaligus mampu bereksis menjalani kehidupan. Syekh Siti Jenar sendiri bertani yang merupakan pekerjaan favorit pada masa hidupnya. Namun tidak semua masyarakat petani berhasil hidupnya sebagaimana pula tidak selalu berhasil baik dari panennya. Yang tidak berhasil panennya tentu mengalami kekurangan bahkan kelaparan. Syekh Siti Jenar selalu membantu mereka yang kurang berhasil tadi dengan memberikan sebagian hasil panennya dari tanahnya yang luas kepada mereka itu. Inilah yang disebut sebagai zakat secara fungsional.

Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh sifat suka memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong, dan bila Allah memberi Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang terbuka. “Barang siapa yang datang membawa amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala sebanyak sepuluh kali lipat dari kita, dan barangsiapa yang datang membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan pembalasannya, melainkan yang seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya.” (QS Al-An’am/6: 160)

Sebagaimana makna katanya, zakat memiliki kegunaan sebagai arena pembersihan harta dan jiwa. Terutama membersihkan dari keegoan, sehingga tujuan zakat rohani menjadi tercapai. “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya, dia akan mendapatkan pahala yang banyak”.(QS Al Hadid/57:11). Inilah hakikat pahala zakat, baik jasmani maupun rohani.

Sehingga terhadap harta pinjaman dan titipan dari Allah, kita melakukan penyucian diri dengan mengeluarkan zakat, bersedekah, serta berbuat amal jariyah. Dalam hal inilah, patokan kita bukan sekedar patokan minimal 2,5%, namun bisa lebih dari itu. Bahkan para sufi terkadang berzakat 100% dari seluruh harta yang diterimanya. Selain ia membersihkan dari daki-daki dunia, ia juga memanjangkan umur dan menyelamatkan diri dari siksa sengsara akhirat. Betapa beruntungnya para pemilik harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia mendapatkan ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan uang nantinya. “Mereka yang menyedekahkan hartanya kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang. Bahkan, harta itu akan bertambah, dan bertambah.” (Sabda Nabi).

Jadi, pemahaman sufi atas harta jelas. Harta dan semua yang ada adalah milik Tuhan. Manusia diberi limpahan-Nya agar digunakan sebagai alat bagi perjalanan rohaninya menuju Tuhan. “Kamu tidak akan sampai kepada ketaatan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan itu, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran/3:92). Zakat bagi para sufi merupakan langkah untuk memberikan “kado” atau hadiah terindah untuk Tuhan, sekaligus untuk manusia dengan disertai kebersihan niat jiwa, dan kesucian hati. Tegasnya, sebagaimana dikemukakan Syekh Siti Jenar, zakat adalah kesediaan untuk menolong manusia yang kekurangan, baik harta fisik maupun harta rohani sehingga mereka terhindar dari kemiskinan, kekurangan, kelaparan fisik maupun spiritual. Betapa indahnya dunia jika dihuni manusia sufi seperti ini.

5.Haji
Haji menurut Islam-Jawa yang sebagian merupakan warisan ajaran Syekh Siti Jenar tidak lain adalah olah spiritual. Karena kalau hanya sekedar mengunjungi Makkah dalam arti fisik, bagi orang Islam-Jawa itu cukup dengan “ngeraga sukma”. Dalam arti seseorang mampu pergi ke Makkah kapan saja dia mau. Oleh karenanya, bagi mereka, Makkah letaknya bukanlah sebatas geografis, yakni terletak di Dataran Arab Saudi. Bagi Muslim-Jawa, Makkah berada di dalam spirit manusia yang tidak ditempuh dengan hanya menggunakan bekal rupiah. Hal ini dapat ditinjau dari ungkapan dalam Suluk Wijil:

Samana ngling Molana Maghribi
Singgih pakanira awangsal
Nora ing Mekah rekeh
Ing Mekah kulon iku
Mekah tiron wastanireki
Watu ingkang kinarya
Pangadhepan iku
Nabi Ibrahim akarya
Nusa Jawa yen tuwan tinggala kapir

Lan tuwan awangsul
Nora ana weruh ing Mekah iki
Alit mila teka ing awayah
Mang tekaa parane
Yen ana sangunipun
Tekeng Mekah tur dadi wali

Sangunipun alarang
Dahat dening ewuh
Dudu srepi dudu dinar
Sangunipun kang sura lagaweng pati
Sabar lila ing donya

Artinya:
Maulana Maghribi berkata demikian,” Baiklah engkau kembali, yang engkau cari tidak ada di Makkah. Makkah yang terletak di barat(Nusa Jawa) itu, Makkah tiruan namanya. Batu yang dibuat sebagai tempat menghadap adalah buatan Nabi Ibrahim. Jika Nusa Jawa engkau tinggalkan, akan menjadi kafir// Tak ada yang tahu dimana Makkah yang sebenarnya. Meski ia harus berjalan dari kecil hingga tua. Tak akan mencapai tujuan. Jika ada bekal sampai di Makkah dan menjadi Wali, maka bekalnya sangat mahal, sukar diperoleh. Bukan rupiah maupun dinar bekal tersebut. Tapi keberanian, kesanggupan mati, dan sabar serta ikhlas di dunia).

Dari penuturan suluk wujil tersebut, jelas bahwa haji adalah olah spiritual untuk mencapai keyakinan hidup yang hak, yaitu berani dan sanggup mati dalam kebenaran, serta sabar dan ikhlas dalam hidup di dunia. Dimana ruh masih terpenjara dalam wadaq ini. Hidup ikhlas adalah hidup tidak terkontaminasi nafsu berebut kuasa, harta, kelezatan hidup di dunia (Chodjim, 2002,209). Maka keikhlasan menjalani hidup menjadi tujuan dari haji. Untuk dapat ikhlas perlu laku atau olah spiritual.

Untuk mampu memperoleh laku yang benar, juga diperlukan keberanian dan kesanggupan memilih jalan yang diyakini benar. Sebagiannya adalah keberanian dan kesanggupan untuk hidup bersahaja dan bersih dari segala perbuatan yang tercela dan mungkar. Hati terbebas dari segala iri, dengki, dendam, kesumat, kikir dan tamak. Pikiran bersih dari keterikatan dengan kelezatan dunia. Rohani dimerdekakan, dan keberagamaan tidak terbelenggu oleh sekedar formalitas. Dan untuk itu semua dibutuhkan kesabaran, memiliki daya juang, dan tidak mudah menyerah dalam upaya mencapai tujuan. Tegar dan kokoh dalam perjuangan hidup yang benar, dan kemauan mempertahankan keyakinan atas kebenaran itu.

Di balik kesabaran itu, juga tersembul kemauan menjaga harmonisme segala hal di dunia ini. Tidak egois, tidak mau menang sendiri, tidak menyerobot hak orang lain. tidak mempermainkan kekuasaan, tidak melanggar hak-hak orang lain. ia selalu memperjuangkan hak hidup dengan tanpa mengorbankan hak orang lain. ia memperjuangkan haknya sekaligus hak orang lain.

Muslim Jawa dalam beragama tidak hanya terikat pada simbol. Sehingga termasuk Ka’bah misalnya, yang berada di Makkah hanya disebut sebagai tiruan yang dibuat manusia. Ka’bah yang sesungguhnya tidak diketahui letaknya karena berada di alam spiritual. Ka’bah diri berada di kedalaman ceruk hati. Oleh karenanya kebenaran dan kejujuran tidak harus diburu di Makkah, justru di Jawa juga menyediakan banyak ajaran spiritual yang jika ditinggalkan untuk memburu di Makkah, malah membuat orang Jawa akan menjadi kafir. Yakni akan kehilangan kebijaksanaan tradisional dan spiritualitas yang genuine dari kedalaman dirinya sendiri. Untuk menciptakan kesejahteraan, ketentraman, dan untuk mampu mendekati Tuhan, ternyata memang seharusnya tidak boleh meninggalkan kebijaksanaan yang berakar pada tradisi ritual dari bangsa lain. Allah menyediakan semua tempat dengan ragam hikmah (wisdom)-nya masing-masing. Untuk itulah konsep keberbedaan harus disatukan dalam kerangka lita’aruf (saling mengenal). Mereka yang mampu mengenal hikmah yang beragam itu disebut Allah sebagai mereka yang paling sanggup mencapai ketakwaan.

Sabtu, 15 Januari 2011

SEKILAS MA'RIFAT: KETIKA JAWA DAN PERSIA DEMIKIAN HARMONI

SEKILAS MA’RIFAT: KETIKA JAWA DAN PERSIA DEMIKIAN HARMONI
Saya mengakui dengan jujur, bahwa saat ini, saya sedang meniti jalan setapak – sebuah titian ruhani, menuju puncak yang masih misteri. Jelas, saya masih belum berada di puncak itu, mungkin masih di lerengnya, kadang terperosok ke dalam lembah, lalu di kala lain, bersusah payah naik ke atas, mendaki mendekati puncak itu. Ada hasrat menggelegak untuk tahu, sebetulnya puncak itu seperti apa, dan ada apa di sana.



Hari ini, saya buka hati ini, untuk mendapatkan seberkas cahaya, dan setumpuk informasi, dari orang-orang bijak yang telah mencapai puncak itu. Lalu, saya biarkan jemari ini mengalirkan apa yang semula memasuki hati. Semoga itu merupakan salah satu bukti, terkabulnya doa saya, agar saya menjadi penebar terang, penyampai kesejatian.



KGPAA Mangkunegoro IV, menyampaikan pengalaman pribadinya, bahwa ketika telah sampai puncak, seseorang menjadi sadar sepenuhnya akan hakikat dan rahasia kehidupan. Beliau mendendangkan dalam Serat Wedhatama: “ Dene awas tegesipun, weruh waranane urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wengi, kang mukitan ing sakarsa, gumelar alam sakalir.” Mereka yang telah waspada , telah dengan jelas mengetahui rahasia kehidupan, tirai kegaiban telah terbuka. Ia menyaksikan Sang Maha Hidup di balik segenap gerak kehidupan, Wujud Yang Mahatunggal meliputi segalanya. Dia yang menggerakkan segalanya dan mewujudkan segenap kehendak, maka terhamparlah segala peristiwa alam semesta.”



Yang ghaib, bagi mereka yang telah menggapai puncak, disadari sebagai sesuatu yang nyata. Semuanya menjadi demikian jelas: apa yang misteri itu telah membuka wujudnya. Namun, ternyata, saat yang sama, mereka yang telah sampai ke puncak disadarkan pada sebuah kesadaran, bahwa: “SEJATINE ORA ONO OPO-OPO, SING ONO KUWI DUDU” Sesungguhnya tidak ada apa2, yang ada itu bukan. Apa yang kita anggap ADA, tidak ada seperti lazimnya adanya yang lain, termasuk adanya kata ada itu. Apa yang kita sangka sebagai Dia, bukanlah Dia itu sendiri. Semua persangkaan kita, bukanlah Realitas itu sendiri. Dan tetaplah Dia sebagai Dzat “ingkang tan kena kinira, tan kena kinaya ngapa”.



Mereka yang telah sampai dipuncak, akhirnya menyadari bahwa misteri itu, menjadi nyata sekaligus tetap menjadi misteri.



Maka, sebagai ungkapan manusawi dari misteri itu, bersyairlah Mansyur Al-Hallaj:

“Aku orang yang mencinta dan Dia yang mencinta adalah Aku

Kami dua ruh yang melebur dalam satu tubuh

Bila kau memandangku, kau memandang-Nya

Bila kau memandang-Nya, kau memandang Kami.

(Diwan 57)



Ruh-Mu menyerap dalam ruhku

Bagai anggur larut pada air bening

Bila suatu menyentuh-Mu, ia menyentuhku

Engkau adalah aku dalam seluruh

(Diwan 47)



Kata-kata Al-Hallaj yang terkesan paradoks, menjelaskan fakta bahwa dia bisa menyaksikan Yang Misteri itu dalam segala hal, termasuk dirinya sendiri, sehingga yang ada hanya Dia: bahkan dirinya, hakikinya adalah Dia juga. Dengan pernyataan seperti ini, sesungguhnya Al-Hallaj menegaskan satu hal: di balik yang kosong, sesungguhnya ada Dia, tetapi adanya Dia tak bisa sama dengan adanya wujud lain, yang terpisah dari yang mengatakan keberadaannya. Bagi al-Hallaj, yang mengatakan ada dan Yang Ada itu sebetulnya satu...tak terpisahkan...dan sebetulnya dengan demikian, tak bisa dilihat sebagai sesuatu yang ada secara obyektif.



Walhasil......tetaplah yang misteri itu menjadi Misteri...



Syeikh Siti Jenar...menggapai kesadaran yang sama dengan Al-Hallaj, dan menyatakan dengan tegas:

“IYA INGSUN IKI ALLAH. (IYA AKU INI TUHAN).


Nyatalah AKU yang Sejati, Bergelar Prabhu Sadmata ( Raja bermata enam. Shiva adalah Avatara Brahman. Jika Shiva bermata tiga, maka Brahman bermata enam. Inilah maksud 'jargon' spiritual waktu itu). Tidak ada lagi yang lain, Apa yang disebut Allah itu. Maulana Maghribi berkata, Yang anda tunjuk itu adalah jasad, Syeh Lemah Bang menjawab.


Hamba membuka rahasia Ilmu Sejati, Membahas tentang Kesatuan Wujud, Tidak membahas Jasad (yang fana), Jasad sudah terlampaui, Yang saya ucapkan adalah Sejati-nya Ilmu, Membuka Segala Rahasia.


Dan lagi sesungguhnya semua Ilmu, Tidak ada yang berbeda, Sungguh tiada beda, Sedikitpun tidak, Menurut pendapat hamba, Meyakini bahwasanya Ilmu itu, Semuanya sama.”

Dia ada yang karena ada yang mengatakan keberadaannya. Bagi yang mengatakan itu, di luar sana sebetulnya yang dilihat adalah Kekosongan Abadi.....Pernyataan ada itu sesungguhnya merujuk pada keberadan diri, pada keberadaan kesadaran...rahsa sejati....yang secara kekal akan tetap menjadi misteri.



Jiwa Yang Tak Lagi Tersekat



Jalaluddin Rumi, salah satu pejalan ruhani yang telah menggapai puncak, berdendang indah, “Manusia Ilahi, berada di luar kekafiran dan agama...Aku telah melihat ke dalam sanubariku sendiri; di sanalah aku melihat-Nya; Dia tidak ada di tempat yang lainnya..Aku bukan orang Kristen, atau Yahudi, atau Penyembah Api, atau Muslim; aku bukan berasal dari Timur maupun Barat, bukan dari bumi maupun laut...Aku telah mengesampingkan kemenduaan, aku telah mengetahui bahwa kedua dunia itu satu adanya. Satu saja yang kucari, Satu saja yang kukenal, Satu saja yang kulihat, Satu saja yang kuseru.”



Rumi menyaksikan bahwa semuanya berasal dari yang Satu, bayangan dari yang Satu itu, yang hakikatnya adalah kekosongan, sehingga segenap nama dan atribut itu tak lagi memadai. Setiap nama dan atribut, sesungguhnya bukanlah yang Satu itu..melainkan sekedar gumpalan imajinasi di dalam benak, yang tak mewakili Realitas sesungguhnya... yang Satu itu. Dan makna dari yang Satu ini sesungguhnya adalah Yang Maha Meliputi...yang tak menyisakan setitikpun ruang kosong....yang tak memungkinkan adanya yang lain.



Karena kesadaran itu pula, maka Rumi sekaligus terhubung dengan semua lokus di mana bayangan yang Satu itu terlihat: ia terhubung dengan semua jiwa. Rumi berkesadaran, bahwa dirinya, sebagaimana diri kita, sama dengan semua manusia, yang sering menyebut dan mengatributi dirinya dengan nama Muslim, Nasrani, Majusi, dan lainnya. Rumi dan juga kita sama dengan mereka pada tataran hakikat, tapi Rumi menolak disekat oleh nama dan atribut yang membuat ia bisa menyatu dengan sebagian dan berpisah dengan lainnya.



Kesadaran tanpa sekat ini, juga yang membalut jiwa Husain Mansyur al Hallaj. Ia dengan jernih mengatakan: “Anakku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan memeluknya bukan karena pilihannya, tetapi dipilihkan Tuhan. Orang yang mencaci orang lain dengan menyalahkan agamanya, dia telah memaksakan kehendaknya sendiri. Ingatlah, bahwa Yahudi, Nasrani, Islam dan lain-lain adalah sebutan-sebutan dan nama-nama yang berbeda. Tetapi tujuannya tidak berbeda dan tidak berubah”.



Lebih jauh, Al-Hallaj juga mendendang sebagai berikut:

“Sungguh, aku telah merenung panjang agama-agama

Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang

Jangan kau paksa orang memeluk satu saja

Karena akan memalingkannya dari akar yang menghunjam

Seyogyanya biar dia mencari akar itu sendiri

Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan dan sejuta makna

Lalu dia akan mengerti"

(Diwan, 50)



Dan jangan dilupakan, seorang Mistikus lain, yang disebut Syaikh Al-Akbar: Muhyiddin Ibnu Arabi. Ialah sang mistikus yang terkenal dengan syairnya:

"Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;

ia merupakan padang rumput bagi menjangan,

biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka`bah tempat orang bertawaf,

batu tulis untuk Taurat, dan mushaf bagi al-Qur'an.

Agamaku adalah agama cinta,

yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya;

itulah agama dan keimananku."



Bagi mereka yang telah sampai di puncak....semuanya itu Manunggal...kita adalah sesama pancaran dari Yang Mahatunggal itu. Apa yang kita sebut sebagai kebenaran, adalah pancaran dari Kebenaran yang Tunggal. Agama-agama, adalah bentuk2 yang berbeda dan esensi yang sama.



Selaras dengan itu, leluhur Nusantara, menyadari dengan jelas bahwa agama itu tak lebih dari sekadar jalan menuju Yang Mutlak, atau bahkan “pakaian” yang menjadi penting bukan pada aspek dan warnanya, tetapi pada aspek fungsinya. Salah satu leluhur itu adalah Empu Tantular, pengarang Kakawin Sutasoma, yang melahirkan falsafah Bhinneka Tunggal Ika:



Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kêna parwanosên, Mangka ng Jinattwa kalawan Śiwatattwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.



Buddha & Syiwa merupakan dua hal yang berbeda. Memang berbeda &nkeduanya tak bisa dikenali, Akan tetapi kebenaran Jina (Buddha) dan Syiwa ... adalah tunggal, Sesungguhnya berbeda tetap satu juga tidak ada kebenaran yg mendua.



Cara Menggapai Kesadaran Puncak

Sampai pada kesadaran sebagaimana terpapar di atas, susah-susag gampang. Menjadi susah, jika kita terbiasa dengan cara beragama yang doktriner, mengabaikan kecemerlangan akal budi dan keakuratan rahsa sejati. Maka, banyak orang yang dianggap ahli agama, tidak pernah bisa menyadari bahwa apa yang dinyatakan Rumi, Al-Hallaj, Ibnu Arabi dan para leluhur Jawa, sesungguhnya adalah kebenaran.

Bahkan, sungguh menggelikan, ada cendekiawan, yang mengaku sudah membaca Futuhat Al Makiyyah dan berbagai karya Ibnu Arabi lainnya, tidak percaya bahwa Ibnu Arabi punya jiwa yang lapang dan meyakini bahwa jalan menuju Tuhan itu tak terbatas bentuknya.



Betapa tidak menggelikan, ketika ada seorang yang mengaku ahli agama dan memahami pandangan Ibnu Arabi, mengartikan agama cinta itu sebagai agama Islam (ajaran Muhammad)....yang punya makna agama-agama yang lain bukan agama cinta.

Padahal, seorang petani lugu, atau bahkan remaja yang polos, dengan nuraninya yang terjaga, akan dengan mudah menyadari kebenaran yang disampaikan Ibnu Arabi. Tak usah dia membaca Futuhat Al-Makiyyah, cukup dengan menengok pada rahsa sejati...akan bisa didapatkan kesadaran bahwa kita sebetulnya adalah bentuk-bentuk yang berbeda tetapi diikat oleh sesuatu yang sama: Sang Hidup yang mengalir melalui nafas kita. Dan Sang Hidup itu membuat kita ada, hidup, dengan Cinta...maka agama cinta yang sesungguhnya adalah menghayati dan menebar cinta kepada semua makhluk yang dihidupi oleh Sang Hidup itu sendiri.



Terakhir, yang menarik untuk disimak, adalah bahwa ternyata, para mistikus Islam yang disebutkan di atas: Rumi, Al-Hallaj, dan Ibnu Arabi, punya akar yang sama, yaitu Tradisi Persia. Sintesis antara Persia dan Islam, membuat Islam ala mereka sungguh mempesona. Kita bisa melihat, Islam yang demikian, selaras, harmoni dengan ajaran leluhur di Tanah Jawa. Maka, apapun agama Anda, mengapa Anda tak hidupkan tradisi leluhur Anda sendiri? Karena itu yang akan membuat pribadi dan pandangan Anda mempesona...laksana gemintang di langit yang cahayanya menembus segenap sekat gelap....
Diposkan oleh Satria Pengging di 22.48

Kamis, 13 Januari 2011

Dalam Keheningan Peta Solusi Akan Tampak Lebih Jelas

Dalam Keheningan Peta Solusi Akan Tampak Lebih Jelas
Tommy Setiawan

Saat memerlukan solusi atau ide kreatif, berhentilah berpikir sejenak. Pusatkan perhatian pada medan energi batin. Sadarlah akan keheningan. Ketika Anda mulai berpikir kembali, pikiran itu akan menjadi segar dan kreatif (dari buku "The Power of NOW" - Echart Tolle).

Dalam menjalankan tugas sehari-hari, pernahkah Anda mengalami salah satu dari frase berikut ini: dikejar-kejar oleh deadline, banjir keluhan pelanggan, penjualan yang masih jauh dari target, performa bawahan yang mengecewakan, klien yang tanpa kompromi atau pun target-target pribadi yang seolah makin jauh dari jangkauan?

Dalam situasi "tertekan" dan jauh dari kondisi ideal, seseorang selalu cenderung untuk "bereaksi negatif". Wujudnya sangat beragam, mulai dari "lupa" makan siang, pola kerja "arround the clock" alias banting tulang siang-malam, mengumpat diri sendiri, menekan bawahan (sebagai kompensasi atas tekanan dalam diri Anda), mulai "berternak" kambing hitam, menjadi eksplosif, menjadi pemurung atau bahkan menjadi depresi.

Kalaupun "opsi" di atas yang Anda pilih, bukan berarti pekerjaan atau pun target Anda tidak akan tercapai. Berhasil sih berhasil, namun social cost yang Anda tanggung menjadi sangat "mahal". Mulai dari gangguan kesehatan, pikiran yang over loaded, hilangnya kekompakan dengan rekan kerja dan rusaknya keharmonisan rumah tangga.

Sesungguhnya, reaksi-reaksi negatif tersebut sama sekali tidak membantu menyelesaikan masalah. Dengan kata lain, bila kita sanggup untuk TIDAK bereaksi secara negatif terhadap "tekanan", maka hasil yang kita raih justru akan semakin maksimal.

Saat kita bereaksi secara negatif, OTAK akan memancarkan gelombang yang sangat "kasar". Semakin tegang pikiran kita, semakin kalut atau semakin cemas, maka semakin TINGGI frekuensi dari gelombang yang dipancarkan oleh otak kita.

Frekuensi dari gelombang otak dapat diukur dengan mudah menggunakan alat EEG (Electro Encelofalogram). Ada 4 kategori gelombang otak manusia:

- Beta (100-14 Hz) : kondisi aktif, cemas, stress, was-was.

- Alfa (13-8 Hz) : kondisi tenang, santai, nyaman, segar, bahagia

- Theta (7.9-4 Hz) : kondisi hening, imajinatif, penuh intuisi

- Delta (3.9-0.1 Hz) : kondisi tidur pulas tanpa mimpi

Jose Silva, penemu dari Silva Mind Method mengatakan bahwa, "Tingkat optimum untuk otak berpikir adalah 10 Hz (fase Alfa)."

Kondisi Alfa merupakan pintu masuk atau akses menuju ke kondisi "keheningan". Anak-anak balita (0-3 tahun) gelombang otaknya SELALU dalam kondisi Alfa. Itu sebabnya mereka mampu menyerap informasi secara cepat. Pertanyaannya adalah, "Bagaimana agar kita, orang dewasa, bisa KEMBALI pada kondisi "balita" tersebut?"

Begitu tingginya "nilai" dari ketenangan jiwa, hingga Tuhan Sang Maha Lembut pun menyapa kita lewat sabdanya, "... Wahai jiwa yang tenang..." Di sinilah perlunya kita berpikir secara ESOTERIS. Dengan keheningan, ketenangan, kita akan bisa menyelami realita jiwa ini, tentang "siapa" atau "apa" kita sesungguhnya, sekaligus menyadari "keterhubungan" kita dengan alam makro kosmos.

Secara scientific, dibuktikan bahwa bila frekuensi otak dalam kondisi Alfa, terjadi peningkatan produksi hormon serotonin dan endorfin, yang menyebabkan seseorang merasa tenang dan bahagia. Hormon ini juga akan meningkatkan "kapasitas" panca indra.

Secara spiritual, kondisi Alfa, keheningan, akan membawa kesadaran kita bahwa "diri" ini merupakan BAGIAN dari alam semesta, bagian dari alam makro kosmos. Saat pikiran kita kalut, cemas, sesungguhnya kita sedang memutus keterhubungan kita dengan semesta. Ibarat jaringan komputer, kita menjadi komputer yang offline, terputus dari network. Otomatis, akses data yang bisa dilakukan menjadi TERBATAS.

Sebaliknya, bila kita berada dalam keheningan, kita akan terhubung dengan network raksasa dengan akses TANPA batas. Informasi atau solusi atau ide atau kreatifitas, sesungguhnya selalu disediakan oleh Sang Maha Pemurah. Berpulang kepada kita, apakah kita melakukan UPAYA untuk meraihnya.

Seperti apa upaya kongret kita untuk meraih keheningan itu? Tak lain berupa doa, meditasi, yoga, sholat atau pun bentuk-bentuk ibadah individual lainnya. Semakin intens kita "berserah diri" HANYA kepada Nya, semakin tenang pikiran kita, semakin TERJAWAB semua problematika kehidupan kita. Ironis bukan? Sebuah solusi mudah yang 100% GRATIS, namun justru paling sering disepelekan.

Bila memang "semudah" itu, lantas apa yang MENGHALANGI kita untuk meraih keheningan dan ketenangan jiwa? Tidak lain adalah EGO. Ego diri selalu membentengi kita dengan "keyakinan semu" bahwa kapasitas diri ini mampu untuk mengatasi SEGALA problematika. EGO selalu bicara tentang siapa kita, prestasi kita, nama "besar" kita, reputasi kita, dan lain sebagainya, sehingga kita LUPA bahwa sesungguhnya ada SATU kekuatan Maha Besar di mana sesungguhnya kita bisa selalu bersandar.

Jadi, apakah Anda ingin menjadi komputer offline yang serba terbatas, ataukah terhubung dengan network super canggih yang akan selalu menyajikan triliunan solusi? Semuanya bergantung pada keihlasan Anda untuk meluruhkan EGO. Ditulis oleh Tommy Setiawan, seorang trainer, penulis dan pengamat industri MLM. Tommy dapat dihubungi melalui blowbytommy@yahoo.com atau melalui 0812 80 56772

Rabu, 12 Januari 2011

Mengenal Jati Diri

Hakekat Neng, Ning, Nung, Nang

Siapa sejatinya diri kita sebagai manusia ? Pertanyaan ini sederhana, dapat dikemukakan jawaban paling sederhana, maupun jawaban yang lebih rumit dan rinci. Jawaban masing-masing orang tidak bisa diukur secara benar-salah. Cara menjawab siapa diri manusia hanya akan mencerminkan tingkat pemahaman seseorang terhadap kesejatian Tuhan. Hal ini sangat dipermaklumkan karena berkenaan dengan eksistensi Tuhan sendiri yang begitu penuh dengan misteri besar. Upaya manusia mengenali Sang Pencipta, ibarat jarum yang menyusup ke dalam samudra dunia. Yang hanya mengerti atas apa yang bersentuhan dengannya. Itupun belum tentu benar dan tepat dalam mendefinisikan. Tuhan memang lebih dari Maha Besar. Sedangkan manusia hanya selembut molekul garam. Begitulah jika diperbandingkan antara Tuhan dengan makhlukNya. Namun begitu kiranya lebih baik mengerti dan memahamiNya sekalipun hanya sedikit dan kurang berarti, ketimbang tidak samasekali.

Secara garis besar dalam diri manusia memiliki dua unsur entitas yang sangat berbeda. Dalam pandangan ekstrim dikatakan dua unsur pembentuk manusia saling bertentangan satu sama lainnya. Tetapi kedua unsur tidak dapat dipisahkan, karena keduanya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Terpisahnya di antara kedua unsur pembentuk manusia akan merubah eksistensi ke-manusia-an itu sendiri. Yakni di satu sisi terjadi kerusakan/pembusukan dan di sisi lain keabadian. Umpama batu-baterai yang memiliki dua dimensi berbeda yakni fisiknya dan energinya. Kedua dimensi itu menyatu menjadi eksistensi batu-baterai berikut fungsinya. Dua unsur dalam manusia yakni; immaterial dan material, metafisik dan fisik, roh dan jasad, rohani dan jasmani, unsur Tuhan dan unsur bumi (unsur gaib dan unsur wadag). Marilah kita urai satu persatu kedua unsur pembentuk eksistensi manusia tersebut.

Unsur Bumi

Jasad manusia wujudnya disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api). Unsur air dan tanah dalam tubuh terurai secara alami melalui proses ilmiah (rumus ilmu pengetahuan manusia) dan rumus alamiah (yang sudah berproses melalui rumus-rumus buatan Tuhan). Unsur tanah dan air yang sudah berproses akan berubah bentuk dan wujudnya sebagai bahan baku utama jasad yang terdiri dari empat unsur yakni ; daging, tulang, sungsum dan darah. Sedangkan unsur udara akan berproses menjadi kegiatan bernafas, lalu berubah menjadi molekul oksigen dalam darah dan sel-sel tubuh. Unsur api akan menjadi alat pembakaran dalam proses produksi jasad, tenaga, energi magnetis, dan semua energi yang terlibat dalam memproses atau mengolah unsur tanah dan air menjadi bahan baku jasad.

Jasad wadag menurut istilah barat sebagai body atau corpus, merupakan wadah atau bungkus unsur Tuhan dalam diri manusia. Unsur wadah tidak bersifat langgeng (baqa’), sebab unsur wadah terdiri dari bahan baku bumi, maka ia terkena rumus mengalami kerusakan sebagaimana rumus bumi.

Unsur Tuhan

Sebaliknya, unsur Tuhan bersifat kekal abadi tidak terjadi rumus kerusakan. Unsur Tuhan (Zat Tuhan) dalam tubuh manusia diwakili oleh metafisik manusia yakni unsur roh (spirit atau spiritus). Roh merupakan derivasi unsur Tuhan yang paling paling akhir dan paling erat dengan bahan baku metafisik manusia (Baca Posting; Mengungkap Misteri Tuhan). Dan spirit diartikan sebagai roh, ruh atau sukma. Roh bersifat suci (roh kudus/ruhul kuddus), tidak tercemar oleh “polusi” dan kelemahan-kelemahan duniawi. Karakter roh adalah berkiblat atau berorientasi kepada martabat kesucian Tuhan. Arti kata roh sangat berbeda dengan entitas jiwa (soul), hawa atau nafas (nafs), animus atau anemos (Yunani), dalam bahasa Jawa apa yang lazim disebut nyawa. Sekalipun berbeda istilah, tetapi memiliki makna yang nyaris sama.

Pertemuan Unsur Bumi dan Unsur Tuhan

Dalam tubuh manusia terdiri atas dua unsur besar yakni unsur bumi dan unsur Tuhan. Di antara kedua unsur tersebut terdapat “bahan penyambung”, dalam literatur barat disebut soul atau jiwa (yang ini terasa kurang pas), Islam; nafs, Yunani; anemos, dan dalam bahasa Indonesia; hawa, Jawa; nyawa (badan alus). Hawa, jiwa, anemos, soul, atau nyawa merupakan satu entitas yang kira-kira tidak berbeda maknanya, berfungsi sebagai media persentuhan atau “lem perekat” antara roh (spirit) dengan jasad (body/corpus). Hawa, nafs, anemos, soul, jiwa, nyawa bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus).

Dalam khasanah hermeneutika dan bahasa yang ada di nusantara tampak simpang siur dan tumpang tindih dalam memaknai jiwa, sukma, roh, dan nyawa. Ini sekaligus membuktikan bahwa memahami unsur Tuhan dalam diri manusia memang tidak sederhana dan semudah yang disebutkan. Karena obyeknya bersifat gaib, bukan obyek material. Cara pandang dan penafsiran dari sisi yang berbeda-beda, menimbulkan konsekuensi beragamnya makna yang kadang justru saling kontradiktif. Dengan alasan tersebut akan saya paparkan lebih jelas pemetaan tentang jiwa atau hawa dari sudut pandang budi-daya yang diperoleh melalui berbagai pengalaman obyek metafisika, dan intuisi, agar lebih netral dan mudah dipahami oleh siapa saja tanpa membedakan latar belakang agama. Dengan asumsi tersebut diperlukan perspektif yang sederhana namun mudah dipahami. Kami akan memaparkan melalui perspektif Javanism atau kejawen, dengan cara penulisan yang sederhana dan “membumi”.

Hubungan Unsur Tuhan dengan Unsur Bumi dalam Laku Prihatin

Setiap bayi lahir memiliki tingkat kesucian yang dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih. Kesucian berada dalam wahana nafs atau hawa yang masih bersih belum tercemar oleh “polusi” keduniawian. Hawa/nyawa/nafs diuji bolak-balik di antara dua kutub; yakni kutub jasmaniah yang berpusat di jasad (corpus) dan kutub ruhaniyah yang berpusat pada roh (spirit). Unsur roh bersifat suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material duniawi (dosa). Roh suci sebagai “utusan” Tuhan dalam diri manusia yang dapat membawa ketetapan/pedoman hidup. Sehingga roh dapat berperan sebagai obor yang memancarkan cahaya (spektrum) kebenaran dari Tuhan. Dalam perspektif Jawa roh suci (utusan Tuhan) tidak lain adalah apa yang disebut sebagai Guru Sejati. Guru Sejati tampil sebagai juru nasehat untuk hawa, jiwa atau nafs.

Hawa Nafsu ; Ibarat Satu Keping Mata Uang

Hawa (nafs) atau jiwa yang tunduk kepada roh suci (guru sejati) akan menghasilkan hawa (nafs) yang disebut nafsu positif –meminjam istilah Arab— sebagai an-nafs al-muthmainah.. Sebaliknya jiwa atau hawa yang tunduk pada keinginan jasad disebut sebagai nafsu negatif. Nafsu negatif terdiri tiga macam; nafsu lauwamah (kepuasan biologis; makan, minum, tidur dst), nafsu amarah (amarah/angkara murka), dan nafsu sufiyah (mengejar kenikmatan psikis; contohnya seks, sombong, narsism, gemar dipuji-puji). Hawa memiliki dua kutub nafsu yang bertentangan ibarat satu keping mata uang yang memiliki dua sisi. Akan tetapi kedua sisi tidak dapat dipisahkan atau dilihat secara berbarengan. Apabila kita ingin menampilkan gambar angka, maka letakkan nilai nominal di sisi atas, sebaliknya jika kita berkehendak melihat gambar burung kita letakkan gambar angka di bawah. Apabila seseorang mengaku bisa melihat kedua sisi satu keping mata uang dalam waktu yang sama, maka seseorang dikatakan berjiwa munafik alias kehidupan yang palsu hanya berdasarkan pengaku-akuan bohong.

Manusia Bebas Mencoblos Memilih

Pada setiap bayi lahir, Tuhan telah menciptakan hawa dalam keadaan putih/suci. Manusia memiliki kebebasan menentukan apakah hawa nafsunya akan berkiblat kepada kesucian yang bersumber pada roh suci (ruhul kuddus), atau sebaliknya ingin berkiblat kepada kemungkaran jasad/raga (unsur duniawi). Apabila seseorang berkiblat pada kemungkaran akan menjadi seteru Tuhan dan memiliki konsekuensi (dosa/karma/hukuman) yang akan dirasakan kelak setelah menemui ajal (akhirat), bisa juga dirasakan sewaktu masih hidup di dunia. Maka peranan semua agama yang ada di muka bumi adalah pendidikan yang ditujukan kepada hawa/nafs/jiwa manusia agar selalu berkiblat kepada rumus Tuhan atau qodratullah. Sumber dari ilmu dan “rumus Tuhan” (qodratullah) bisa kita temukan dalam “perpustakaan” atau gudang ilmu yang terdekat dengan diri kita, yakni roh suci (Ruhul-Kuddus/Guru-Sejati/Sukma-Sejati/Rahsa-Sejati).

Kadang kala Tuhan Maha Pemurah menganugerahkan seseorang untuk mendapat “bocoran soal” akan rahasia “ilmu Tuhan” melalui pintu hati (qalb) yang di sinari oleh cahyo sejati (nurullah). Yang lazim disebut sebagai ungkapan dari (hati) nurani. Petunjuk dari Tuhan ini diartikan sebagai wirayat, wahyu, risalah, sasmita gaib, ilham, wisik dan sebagainya. Dalam posting ini kami tidak membahas model dan macam petunjuk Tuhan tersebut.

Laku Prihatin adalah Jihad Sejati

“Penundukan” roh terhadap hawa nafsu negatif adalah penundukkan terhadap segala yang berhubungan dengan material (syahwat) atau kenikmatan ragawi. Dengan kata lain yakni penundukan unsur “Tuhan” terhadap unsur bumi. Dalam ilmu Jawa dikatakan sebagai jiwa yang tunduk pada kareping rahsa / rasa sejati (kehendak Guru Sejati/kehendak Tuhan), serta meredam rahsaning karep (kemauan hawa nafsu negatif). Segenap upaya yang mendukung proses “penundukan” unsur Tuhan terhadap unsur bumi dalam khasanah Jawa disebut sebagai laku prihatin. Dengan laku prihatin, seseorang berharap jiwanya tidak dikendalikan oleh keinginan jasad. Maka di dalam khasanah spiritual Kejawen, laku prihatin merupakan syarat utama yang harus dilakukan seseorang menggapai tingkatan spiritualitas sejati. Seperti ditegaskan dalam serat Wedhatama (Jawa; Wredhotomo) karya KGPAA Mangkunegoro IV; bahwa ngelmu iku kalakone kanthi laku. Laku prihatin dalam istilah Arab sebagai aqabah, yakni jalan terjal mendaki dan sulit, karena seseorang yang menjalani laku prihatin harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsu yang negatif. Di mana ia sebagai sumber kenikmatan keduniawian. Maka apa yang disebut sebagai Jihad yang sesungguhnya adalah perang tanding di medan perang dalam kalbu antara tentara Muslim nafsu positif melawan tentara Setan nafsu negatif. Disebut kemenangan dalam berjihad apabila seseorang telah berhasil “meledakkan bom” di pusat kekuasaan setan (hawa nafsu negatif) dalam hati kita. “Bahan peledaknya” bernama C4 dan TNT laku prihatin dan olah batin (wara’ dan amr ma’ruf nahi munkar).

Target Utama dalam “Berjihad” (Laku Prihatin)

Perjalanan spiritual dalam bentuk laku prihatin, mempunyai target membentuk hawa nafsu positif atau nafsul muthmainnah. Karena si nafs atau hawa tersebut telah stabil dalam koridor rumus Tuhan (qodrat atau qudrah diri) atau dalam bahasa sansekerta lazimnya disebut sebagai swadharma. Roh yang berada pada tataran pencapaian ini, dalam bahasa Ibrani, ruh disebut sebagai syekinah yang diturunkan ke dalam kalbu dan berhasil merebut (amr) kebaikan (ma’ruf). Jika hawa tidak berdaya karena kuatnya arus nafsu negatif yang dimasukkan jasad lewat pintu panca indera, maka kepribadian manusia dikuasai oleh “milisi” kekuatan batin yang oleh Freud diberi nama ego. Ego cenderung berkiblat pada jasad (duniawi). Maka sudah menjadi tugas hawa (id) untuk membangkang dari keinginan ego agar supaya membelot kepada kekuatan hawa positif (super ego). Hasilnya maka manusia dapat dikendalikan sesuai dengan kodrat dirinya sebagai khalifah Tuhan. Jadilah manusia yang tetap berada pada orbitNya (qodrat/rumus Tuhan), yakni apa yang dimaksud menjadi titah jalma menungsa kang sejati, yaiku nggayuh kasampurnaning gesang, (untuk meraih) sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu.

Sangat terasa bahwa Tuhan sungguh lebih dari Maha Adil, setiap manusia tanpa kecuali dapat menemukan Tuhan melalui pintu nafs, jiwa, atau hawanya masing-masing, karena Tuhan telah membekali jiwa manusia akan kemampuan menangkap sinyal-sinyal suci dari Hyang Mahasuci. Sinyal suci yang diletakkan di dalam rahsa sejati (sirullah) dan roh sejati (ruhullah). Sudah merupakan rumus (Tuhan), apabila seseorang dapat meraih dharma-nya atau kodrat-dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka kehidupannya akan selalu menemui kemudahan. Sebaliknya hawa nafsu negatif (setan) senantiasa menggoda hawa/nafs manusia agar supaya hawanya berkiblat kepada unsur bumi.

Menjadi Pribadi yang Menang

Sepanjang hidup manusia selalu berada di dalam arena peperangan “Baratayudha/Brontoyudho” (jihad) antara kekuatan nafsu positif (Pendawa Lima) melawan nafsu negatif (100 pasukan Kurawa). Perang berlangsung di medan perang yang bernama “Padang Kurusetra” (Kalbu). Peperangan yang paling berat dan merupakan sejatinya perang (jihad fi sabilillah) atau perang di jalan kebenaran.

Kemenangan Pendawa Lima diraih tidak mudah. Dan sekalipun kalah pasukan Kurawa 100 selamanya sulit dibrantas tuntas hingga musnah. Maknanya sekalipun hawa nafsu positif telah diraih, artinya hawa nafsu negatif (setan) akan selalu mengincar kapan saja si hawa lengah. Kejawen mengajarkan berbagai macam cara untuk memenangkan peperangan besar tersebut. Di antaranya dengan laku prihatin untuk meraih kemenangan melalui empat tahapan yang harus dilaksanakan secara tuntas. Empat tahapan tersebut dikiaskan ke dalam nada suara salah instrumen Gamelan Jawa yang dinamakan Kempul atau Kenong dan Bonang yang menimbulkan bunyi; Neng, Ning, Nung, Nang.

1. Neng; artinya jumeneng, berdiri, sadar atau bangun untuk melakukan tirakat, semedi, maladihening, atau mesu budi. Konsentrasi untuk membangkitkan kesadaran batin, serta mematikan kesadaran jasad sebagai upaya menangkap dan menyelaraskan diri dalam frekuensi gelombang Tuhan.

2. Ning; artinya dalam jumeneng kita mengheningkan daya cipta (akal-budi) agar menyambung dengan daya rasa- sejati yang menjadi sumber cahaya nan suci. Tersambungnya antara cipta dengan rahsa akan membangun keadaan yang wening. Dalam keadaan “mati raga” kita menciptakan keadaan batin (hawa/jiwa/nafs) yang hening, khusuk, bagai di alam “awang-uwung” namun jiwa tetap terjaga dalam kesadaran batiniah. Sehingga kita dapat menangkap sinyal gaib dari sukma sejati.

3. Nung; artinya kesinungan. Bagi siapapun yang melakukan Neng, lalu berhasil menciptakan Ning, maka akan kesinungan (terpilih dan pinilih) untuk mendapatkan anugrah agung dari Tuhan Yang Mahasuci. Dalam Nung yang sejati, akan datang cahaya Hyang Mahasuci melalui rahsa lalu ditangkap roh atau sukma sejati, diteruskan kepada jiwa, untuk diolah oleh jasad yang suci menjadi manifestasi perilaku utama (lakutama). Perilakunya selalu konstruktif dan hidupnya selalu bermanfaat untuk orang banyak.

4. Nang; artinya menang; orang yang terpilih dan pinilih (kesinungan), akan selalu terjaga amal perbuatan baiknya. sehingga amal perbuatan baik yang tak terhitung lagi akan menjadi benteng untuk diri sendiri. Ini merupakan buah kemenangan dalam laku prihatin. Kemenangan yang berupa anugrah, kenikmatan, dalam segala bentuknya serta meraih kehidupan sejati, kehidupan yang dapat memberi manfaat (rahmat) untuk seluruh makhluk serta alam semesta. Seseorang akan meraih kehidupan sejati, selalu kecukupan, tentram lahir batin, tak bisa dicelakai orang lain, serta selalu menemukan keberuntungan dalam hidup (meraih ngelmu beja).

Neng adalah syariatnya, Ning adalah tarekatnya, Nung adalah hakekatnya, Nang adalah makrifatnya. Ujung dari empat tahap tersebut adalah kodrat (sastrajendra hayuning Rat pangruwating diyu).
Artikel Terkait

* Tangga untuk “Bertemu” TUHAN (Paraning Dumadi)
* Atur Sabdo Pambagyo
* SULUK WUJIL
* Ilmuwan Berhasil Ciptakan Nyawa Tiruan
* Purnama Di Tanah Tantra
* Bersenergi Dengan Alam
* Tentang Bali
* Tata Ruang Bali Shanti
* Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
* Inilah Prediksi Kejadian Dunia 3000 Tahun Yang Akan Datang
* Mekah Adalah Pusat Dari Planet Bumi
* Delapan Sifat Pemimpin (Hasta Brata)
* Bukti Ilmiah : Mukjizat Nabi Muhammad saw Membelah Bulan
* Negara Indonesia Paling Berisiko ditabrak Asteroid
* Penemuan Bahtera dan Kisah Nabi Nuh

Filled Under: Kebijaksan