Sabtu, 19 Maret 2011

Esensi Agama Menembus Sekat-Sekat Dari Kotak-Kotak Yang Terpisah, Renungan Ke-71 Tentang Berguru

Sepasang suami istri melihat komentar para sahabat  dalam note di FB nya. Mereka melihat para sahabatnya tertarik pada pernyataan YM Bhikku Sanghasena pendiri Mahabodhi International Meditation Center , tentang tidak adanya kedamaian dunia karena dunia telah terkotak-kotak dan masyarakat berada dalam kotak-kotak yang terpisah……. Karena ada “division”, ada pembagian. Karena ada pembagian maka timbullah friksi, muncullah perkelahian. Pembagian, pengkotak-kotakan sudah terjadi menyeluruh dalam setiap kehidupan manusia, pembagian negara, agama, ras, warna kulit, geografi dan sebagainya. Semua orang menginginkan kedamaian, kebahagiaan, kemakmuran, betul demikian semuanya…… akan tetapi hanya kedamaian, kebahagiaan dan kemakmuran bagi kelompoknya. Kelompok Amerika hanya memperjuangkan bagi Amerika, demikian pula Eropa, Asia ataupun suatu agama hanya memperjuangkan kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat seagamanya saja. Dan selalu kita hanya memikirkan kelompok kita dan mengabaikan kelompok lain di luar kita, itulah sebabnya tidak pernah tercapai perdamaian……. Terlalu banyak pengkotak-kotakan dalam kehidupan, pada hal secara fundamental kita itu sama-sama manusia…… Harus ada transformasi, atau perubahan sikap mental, perubahan “attitude” untuk melihat persamaan dan bukan mencari perbedaan. Dan, esensi setiap agama pada dasarnya sama……
Sang Suami: Istriku, aku baru saja tertegun kala membaca status FB salah seorang sahabat…… “Kalau Ahli Hukum tak merasa tersinggung karena pelanggaran hukum, sebaiknya dia jadi tukang sapu jalanan”, tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca……. Dan salah seorang “sahabat” mengomentari status tersebut…….. “Itulah yg terjadi ketika para ahli hanya melihat fakta semu di permukaan tanpa mau menyelami kebenaran. Betapa langkanya para pemikir seperti Pramoedya di negeri ini. Salam kasih buatmu Bung, telah mengingatkan kita akan hal ini.”……….. Benar sekali tanggapan terhadap status tersebut……
Sang Istri: Saya pernah membaca bahwa Gus Dur menyampaikan, “Saya sendiri orang Islam – tetapi Islam pun banyak kekurangannya. Seperti yang diketahui, Islam itu terbagi dua, satu yang legalistik/formalistik, satunya lagi yang spiritual. Saya pribadi lebih cenderung kepada yang spiritual. Yang legal suka menghantam yang spiritual.”……. Dalam buku “Cakrawala Sufi 3, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi” disampaikan…….. Dalam setiap agama, ada bagian-bagian yang bersifat universal, ada pula yang bersifat kontekstual. Yang kontekstual ini mungkin sangat relevan pada masanya, tetapi sudah tidak relevan dengan masa kini. Kita tidak perlu mengkritiknya. Yang diperlukan adalah kearifan kita untuk memisahkan bagian-bagian yang sudah tidak relevan lagi……… Dengan segala hormat kepada pendiri setiap agama, bagaimanapun mereka adalah manusia biasa. Ilham atau Wahyu yang kita anggap “turun” dari Allah dan saya yakini berasal dari kesadaran tinggi mereka jabarkan sesuai “pemahaman” mereka. Dan “pemahaman” manusia meningkat terus. Bahkan secara anatomis, otak kita apapun sudah mengalami perubahan struktural. Kualitas otak manusia sekarang dan manusia purbakala – bahkan manusia yang lahir 2000 tahun yang lalu – sudah berbeda. Kita harus bisa menerima “perbedaan” ini dengan pikiran yang jernih dan hati yang terbuka. “Pembakuan” peraturan-peraturan yang dibuat ribuan tahun yang lalu – lantas menjadikannya landasan bagi suatu negara – akan menghentikan roda pembangunan. Kita akan lari di tempat………
Sang Suami: Dalam AI-Qur’an pun tertulis, “Kuciptakan kalian sebagai bangsa-bangsa dan suku-suku agar kalian saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya orang yang paling mulia di mata Allah adalah orang yang bertaqwa.”…….  Berarti taqwa menembus sekat-sekat perbedaan bangsa dan suku. Dalam buku “Cakrawala Sufi 3, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi” disampaikan…….. Entah berapa kali telah kita baca Firman Allah itu, namun sepertinya tidak pernah kita hayati. Bolak-balik yang kita permasalahkan adalah bentuk luar agama, bukan esensi ajaran agama itu sendiri. Esensi agama tidak bisa dipermasalahkan. Esensi agama adalah “taqwa” kepada Allah. Dan siapa yang bisa menentukan ke-”taqwa” -an seseorang, kecuali Allah?
Sang Istri: Kesadaran menembus rintangan penglihatan yan g sempit. Dalam buku “Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan” disampaikan……. Ketidaksadaran merintangi penglihatan kita. Pikiran pun menjadi keruh. Lalu penafsiran kita akan selalu salah. Yang benar kita anggap tidak benar. Yang tidak benar kita anggap benar. Dan apabila kita menciptakan suatu system kepercayaan berdasarkan tafsiran-tafsiran yang salah, Anda dapat membayangkan apa yang akan terjadi! Sementara ini, yang terjadi memang demikian. Kita menafsirkan agama dan kepercayaan secara begitu sempit, sehingga maknanya hilang. Sehingga jiwanya hilang, dan pesannya tidak jelas lagi……..
Sang Suami: Dalam buku “Cakrawala Sufi 3, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi” disampaikan…….. Sebenarnya, Hazrat Inayat Khan hanya sedang mengulangi apa yang pernah dikemukakan oleh para sufi sebelumnya. Sufisme bukan agama, karena bebas dari prinsip-prinsip dogmatis, dari perbedaan-perbedaan yang mendasari setiap agama. Sufisme juga bukan filsafat, karena ilmu filsafat pun melihat perbedaan. Sebaliknya, sufisme hanya melihat kesatuan dan persatuan. Hazrat Inayat Khan menjelaskan ajaran sufi sebagai “latihan” untuk meluruskan pandangan, untuk memperluas pandangan. Ajaran-ajaran sufi tidak pernah menjadi suatu agama, atau melahirkan suatu kredo baru. Ajaran-ajaran sufi mempakan intisari setiap agama, semua agama. Bahkan, sebenarnya istilah “Sufisme” pun tidak tepat. Sufi tidak mengenal “isme”. Kalaupun Hazrat Inayat Khan menggunakan “ism” di belakang Sufi, maksud beliau hanyalah untuk mempermudah pemahaman kita………. Seorang Sufi adalah seorang Kristen Sejati. Kemurahan-hatinya, semangat persaudaraannya dan komitmennya terhadap pemulihan kembali kesehatan rohani tidak tertandingi. Seorang Sufi adalah seorang Brahmin (Hindu) Sejati. Brahmin berarti “Ia Yang Memahami” Brahma – Ia yang mengalami Tuhan, Yang Satu Ada-Nya. Ia tidak mempercayai keberadaan sesuatu apa pun, di luar Tuhan. Demikianlah keyakinannya yang disebut Advaita – tidak melihat dualitas, tidak memilah. Memang Hazrat Inayat Khan akan membuat gerah pihak-pihak yang ingin memonopoli istilah Sufi. Bagi seorang Inayat Khan, bagi seorang Jalaluddin Rumi, istilah Sufi sendiri berarti “Ia yang bersih”. Seorang sufi tidak terkontaminasi, tidak tercemari oleh pandangan-pandangan yang bersifat dualitas. Ia bebas dari segala macam dualitas. Seorang Sufi adalah seorang Buddhis Sejati. Dengan penuh kewaspadaan, ia mengambil langkah pasti dalam perjalanan spiritualnya. Seorang Sufi adalah searang Muslim Sejati. Ia tidak sibuk membicarakan Islam. la “menghidupi” Islam. Islam membuat jiwanya semakin lembut, semakin reseptif. Sesungguhnya hanya kelembutan jiwalah, hanya reseptivitas hatilah, yang dapat mengantar kita ke pencerahan. lronis sekali, Islam yang begitu lembut dijadikan alot, dijadikan keras oleh mereka yang ber-KTP Islam, tetapi tidak berjiwa Mukmin.
Sang Istri: Dalam buku “The Gospel of Michael Jackson” disampaikan…….. Seorang Sofie dalam bahasa Yunani, atau Sufi dalam bahasa Arab, adalah seseorang yang tersesat dalam Senandung Agung. Seorang Sufi menjadi satu dengan Nyanyian, dengan Sang Agung.  Jiwa Sufi adalah jiwa universal, jiwa Tuhan. Bangkitnya jiwa semacam itu berarti juga kebangkitan ketuhanan di dalam diri. Bangkitnya Jiwa Sufi di dalam diri adalah hal paling berbahaya yang dapat terjadi dalam diri seorang manusia. Sufi adalah mahluk-mahluk yang sudah bertransformasi. Mungkin mirip kita, tetapi tidaklah sama dengan kita. Mereka berbeda. Kita mengidentifikasikan diri kita dengan masyarakat, akademi, institusi, agama, dan banyak hal lainnya. Kita mengidentifikasikan diri kita dengan benda, materi. Para Sufi mengidentifikasikan diri dengan dengan hal-hal di luar jangkauan materi, esensi materi yaitu energi murni. Kita hidup dalam kotak-kotak sosial. Para Sufi hidup di luar kotak-kotak tersebut. Kita takut hidup di luar kotak kecil kita. Para Sufi malah akan sesak nafas di dalam kotak-kotak itu……
Sang Istri: Dalam buku “Nirtan Tarian Jiwa Hazrat Inayat Khan” disampaikan…….. Setiap orang hidup dalam dunia “ciptaan”nya, dalam alam raya “buatan”-nya. Dan, dunia “buatan” kita, alam “ciptaan” kita sungguh sempit, kecil, serba terbatas. Itu sebabnya, kita tidak merasa apa-apa bila tetangga kita tidur dengan perut kosong. Dalam “dunia kita” perut tetangga tidak sama dengan perut kita. Dunia kita, alam kita terbagi dalam sekian banyak kotak. Dan setiap kotak masih bersekat lagi. Ada kotak bangsa, negara. Ada sekat agama, suku, ras dan sebagainya. Kita bagaikan kawanan katak yang hidup dalam sumur. Seorang sufi keluar dari sumur itu. Pencerahan dia, kesadaran dia membebaskan jiwanya dari pengotakan dan penyekatan. Kemudian, ia menjadi “anak dunia”, putra alam raya. Kegerahan alam menggerahkan dirinya. Dan, kegelisahan dia menggelisahkan alam. Kesadaran seorang sufi semacam ini bukanlah produk ego yang serta terbatas, tetapi hasil dari pelepasan ego.
Sang Suami: Aku ingat sebuah pandangan bijak…… Di balik segala macam permasalahan yang sedang kalian hadapi saat ini ada masalah utama yang terlupakan. Krisis moneter bisa diatasi, akan teratasi. Krisis politik bisa diatasi, akan teratasi pula. Masalah utama yang kalian hadapi adalah krisis kesadaran. Tanpa adanya kesadaran, tidak akan terjadi reformasi. Sistem pendidikan harus diubah. Pelajaran agama yang mengkotak-kotakkan manusia Indonesia harus diganti dengan pendidikan budi-pekerti. Setiap warga Indonesia harus mempelajari nilai-nilai dasar setiap agama. Kalian harus berjiwa apresiatif terhadap setiap agama. Sekadar toleransi saja tidaklah cukup. Pembagian manusia Indonesia berdasarkan kepercayaan dan keimanan – harus dihentikan. Pembagian manusia Indonesia berdasarkan kelompok yang beragama bumi dan beragama langit, hanya menunjukkan betapa tumpulnya kalian. Bukankah bumi dan langit, dua-duanya ciptaan Dia? Bisakah kalian hidup tanpa berpijak di bumi? Bisakah kalian membayangkan kehidupan tanpa langit? Nilai-nilai luhur yang ada dalam setiap agama, harus dipelajari. Perang antaragama yang pernah ataupun sedang terjadi di negeri orang yang tidak mencerminkan budaya bangsa – harus dikutuk, tidak diimpor ke negara ini. Penggunaan istilah-istilah pribumi dan non pribumi, bumiputera tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Pendirian dinding-dinding pemisah demikian bahkan tidak bisa disebut budaya atau kebudayaan. Mereka yang memisah yang memecah belah – belum berbudaya, belum beradab…….
Sang Istri: Aku juga ingat sebuah nasehat bijak……..  Apa kesalahan utama dalam sistem pendidikan kita? Memisahkan Anak pada Saat Kelas Agama. Sejak usia dini, anak-anak kita dikondisikan untuk melihat dirinya berbeda dari anak-anak lain. la adalah bagian dari salah satu agama dan anak-anak lain dari agama lain. Ini adalah kecelakaan pertama, dan yang paling utama. Pendidikan agama mesti menjadi tanggungjawab orang tua. Mereka mesti mampu mengajarkan agama kepada anak-anak mereka. Bila tidak, janganlah melahirkan anak. Jangan karena “enak” saja. Jadilah orangtua yang bertanggung jawab. Dulu, saya selalu menganjurkan bahwa bila orangtua tidak mampu, biarlah anak-anak kita mendapatkan pelajaran agama dari para agamawan masing-masing agama. Sekarang, saya tidak lagi mengajurkan hal itu. Karena, setelah saya teliti, ternyata banyak agamawan yang terjebak dalam kotak mereka masing-masing. Mereka hidup dalam kotak-kotak. Orangtua mesti bertanggung jawab atas pelajaran agama bagi anak-anak mereka. Dan, bila mereka tidak siap juga, seorang pemuda seperti kau, yang saat ini sedang membaca buku ini, mesti menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan bagi adikmu, sepupumu, bahkan anak tetangga, atau anak jalanan………
Sang Suami: Sebagai penutup aku ingat sebuah wejangan………. Keberadaan menginginkan terjadinya kebangkitan Islam di Indonesia, dari Indonesia. Islam yang masuk di Indonesia lewat Hindustan sudah merupakan the refined stuff. Sudah dibersihkan dari kekerasan budaya Timur Tengah. Islam inilah yang cocok bagi Indonesia. Islam yang lembut, yang manis, yang indah. Islamnya Sunan Bonang dan Hamzah Fansuri! Islamnya Shah Latief dan Inayat Khan! Islam yang tidak mengkotak-kotakkan manusia. Islam yang memekarkan jiwa manusia. Islam inilah yang cocok bagi Indonesia…….. Semoga………
Terima Kasih Bapak Anand Krishna

Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
Februari 2011

Leave a Reply

Tidak ada komentar:

Posting Komentar